JEJAK KEPENTINGAN DI ATAS PUNGUTAN

Ketua APJATI
Ketua APJATI

Aktivis Amri Abdi Piliang menuding segelintir oknum di APJATI (Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia) mendapat rente dari pemberlakuan Imigration Security Clearance (ISC). Amri beralasan sejumlah alat yang digunakan untuk melakukan uji ISC pada 10 provinsi seluruh Indonesia, hanya diberikan kepada anggota APJATI. Padahal seharusnya, menurut dia, akses tersebut tidak diberikan secara istimewa kepada pihak manapun.

“ISC itu kan produk dari Malaysia. Mereka mewajibkan membayar sejumlah uang tapi hanya meletakkan (alat) medical check up di beberapa tempat saja” ujarnya.

Karena itu, Amri menduga ada perolehan rente yang didapat oleh beberapa pihak. Sebab tanpa keberadaan landasan hukum yang kuat, pungutan ISC semestinya tidak bisa diberlakukan.

“Keberadaan barang ini (ISC) haram. Tidak memiliki landasan hukum. Kok, bisa langsung masuk ke Indonesia. Ya mungkin, ada oknum APJATI yang sudah mendapat upeti,” jelas dia.

Dari penelusuran arsip pemberitaan TEMPO, Ketua Umum APJATI Ayub Basalamah memang menjadi salah satu pihak yang paling aktif mendukung pemberlakuan ISC. Ayub sempat mengatakan pungutan oleh pemerintah Malaysia tersebut merupakan sesuatu yang sangat wajar.

“Kami ini perwakilan Kamar Dagang dan Industri untuk urusan TKI, wajar bila Malaysia meminta (Pungutan ISC),” ujarnya Mei 2017 lalu.

Ayub bahkan tak sungkan meminta P3MI (Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia) untuk menalangi terlebih dahulu biaya uji ISC yang akan ditanggung pemberi kerja. Sebab bagi Ayub, ini konsekuensi bisnis penempatan PMI (Pekerja Migran Indonesia) yang membutuhkan biaya yang besar. Ayub pun menggaransi bahwa negeri jiran akan memastikan seluruh biaya yang ditanggung dahulu oleh P3MI, bakal diganti.

“Kalau perusahaan enggak punya modal menalangi, jangan bermain di bisnis ini,” kata Ayub.

Dugaan patgulipat kepentingan ini juga muncul dalam penjelasan Alex Ong, aktivis Migran Care yang menetap di Malaysia. Alex Ong menyebut program ISC ini sarat dengan kolusi sejumlah pihak di Indonesia dan Malaysia. Pasalnya, menurut Alex, tidak semestinya pengurusan dokumen tersebut diserahkan kepada pihak swasta. Pekerjaan tersebut seharusnya bisa dilakukan sendiri oleh pihak Imigrasi Malaysia.

“Seharusnya tidak boleh diswastakan. Berapapun jumlah pekerja migran Indonesia yang ingin mengurus dokumen tersebut, itu tidak boleh jadi alasan ISC diswastakan” ujarnya lewat sambungan telepon kepada Aktual.com, akhir September kemarin.

Tak ayal, pegiat HAM dan hak pekerja migran ini pun akhirnya mensinyalir ISC menjadi medium pencarian rente bagi sejumlah pihak di Malaysia dan Indonesia. Sebab, ada biaya yang terlalu besar yang harus dibayarkan pekerja migran dalam pengurusan dokumen tersebut.

“Ya, akhirnya ada political rent seeking dalam jabatan atau kebijakan terkait,” kata dia.

Meskipun demikian Alex menuturkan faktor keamanan memang menjadi alasan kebijakan ISC diterapkan. Ramainya keinginan dan permintaan untuk bekerja di negara jiran membuat Malaysia harus memastikan aspek keamanan para pekerja migran.

Halaman selanjutnya…