Meskipun menurut UU rasio utang terhadap PDB Indonesia masih cukup terjaga di bawah 60%, namun menurut Ekonom Senior Faisal Basri, apa yang sering digembar-gemborkan pemerintah, ternyata tidak seperti itu cara membaca datanya. Ia mengungkapkan skema utang Indonesia telah berubah.
“Saat ini berbeda, sejak 2018 per Agustus sudah 68,9% itu bentuknya securities. Implikasinya kalau ada apa-apa dengan kita maka kita tak bisa renegosiasi, yang ada pasar langsung hukum dengan melepas surat utang tersebut,” jelasnya saat menjadi narasumber CNBC Indonesia TV, Selasa (16/10/2018).
Jika dibandingkan dengan Jepang, Faisal mengatakan rasio utang terhadap pajak mencapai 250% lebih. Namun perbedaannya, surat utang jepang itu 90% dikuasai oleh masyarakatnya.
“Utang Jepang urusannya dengan warganya sendiri. Ketika pemerintah Jepang membayar utang maka perputaran uangnya ya kembali ke warganya sendiri. Mutarnya di dalam. Kalau di sini berbeda, asing ada gejolak mereka pergi,” tuturnya.
“Di Indonesia 37,8% surat utang dipegang asing. Itu tertinggi di antara negara emerging market. Malaysia itu cuma 24,8%,” kata Faisal.
Utang ini cukup membuat asing selalu nyaman untuk masuk. Dengan bunga tinggi, mereka kapanpun bisa masuk dan menikmati hasil, namun jika bergejolak mereka pun bisa cabut kapan saja.
Faisal Basri mengklaim utang yang selama ini diungkapkan demi kegiatan produktif sampai infrastruktur tidak benar. Berdasarkan data yang dimiliki Faisal, utang baru lebih besar porsinya digunakan untuk membayar utang yang jatuh tempo.
“Sangat menyesatkan kalau produktif. Saya baca data ya, Januari 2018 pertumbuhan pengeluaran tertinggi itu untuk bayar utang 63%. Kedua terbesar belanja barang yakni 58% dan ketiga adalah belanja modal yang di mana di dalamnya terdapat infrastruktur yang mencapai 36%,” ungkap Faisal.
Kemudian, Faisal mengatakan belanja infrastrukur pun tak sepenuhnya menggunakan utang pemerintah. Karena sebagian besar tidak dari APBN. “Infrastruktur itu BUMN yang banyak mengerjakan, BUMN yang berutang lagi. Ini berbahayanya, tidak sehat,” jelas Faisal.
Utang-utang pemerintah juga tak mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Menurut Faisal, pertumbuhan ekonomi saat ini masih stagnan di 5%. “Jika utang diklaim lebih produktif, buktinya pertumbuhan ekonomi masih stagnan di 5%. Karena itu, utang ini sebenarnya untuk membayar utang yang jatuh tempo,” katanya.
Sri Mulyani Klaim Manajemen Utang Pemerintah Semakin Membaik
halaman selanjutnya…