????????????????????????????????????

Jakarta, Aktual.com – Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) mengimbau agar pemberantasan pungutan liar (pungli) harus memberikan dampak terhadap pelayanan yang semakin baik dan penguatan sistem pengawasan.

Waki Ketua DPD RI Farouk Muhammad mengingatkan, perlu diwaspadai dampak dari pemberantasan pungli yang melibatkan pegawai bawahan, yakni pelayanan publik yang lambat. Sebab, terdapat kecenderungan pelaksana tugas tak lagi responsif dalam menjalankan pekerjaannya karena tidak lagi memperoleh insentif dari pungli.

Pasalnya, praktek pungli sudah berlangsung lama, berurat berakar dalam tubuh birokrasi yang memberikan pelayanan kepada masyarakat.

“Harus ada pendekatan yang komprehensif dalam menangani ‘puncak gunung es’ ini. Pembenahan sistem di satu sisi dan memberikan kesadaran kepada masyarakat, disisi yang lain,” ujar Farouk di Jakarta, Rabu (26/10).

Senator asal Nusa Tenggara Barat (NTB) ini mengatakan, pungli yang melibatkan pejabat, sejalan dengan diskresi yang dimiliki dapat mengalihkan obyek keputusannya, baik yang menyangkut proyek maupun pembinaan personel.

“Keteladanan atasan, motivasi dan sugesti positif kepada pegawai secara kontinyu, serta penguatan ‘ruhiyah’ melalui pendalaman (deepening) nilai-nilai agama/spiritual, sebagai bagian dari pengembangan sistem integritas di tempat kerja sangat baik untuk ditingkatkan hingga berdampak pada terbentuknya karakter dan budaya kerja (corporate culture) yang zero tollerance to pungli.” tegasnya

Guru Besar PTIK ini menjelaskan, pungli harus dibedakan dengan “Torli” atau setoran liar. Dalam hal pungli petugas lebih aktif memungut atau setidak-tidaknya meminta atau mengharapkan pemberian uang dari klien yang dilayani. Sebaliknya, dalam hal torli, yang aktif adalah klien dalam menyerahkan uang atau materi sebagai tanda terima kasih, walaupun tidak diminta oleh petugas pemberi layanan.

Farouk pun menganggap, wacana memberikan penghargaan kepada personel yang melaporkan warga yang melakukan torli dalam bentuk insentif dengan nilai yang jauh lebih besar dari nilai pungli atau torli, pada realitasnya seringkali terjebak pada kondisi dilematis dan pragmatis.

“Dalam memberantas pungli atau torli dikhawatirkan efektivitasnya. Personel lebih baik menolak torli dari pada memperkarakan yang bersangkutan karena merasa kasihan atau dengan kata lain anggota tidak ingin ‘mendirikan mahligai diatas puing-puing kehancuran’ orang lain,” pungkasnya.

 

*Nailin

Artikel ini ditulis oleh: