Aktivitas proyek reklamasi di teluk Jakarta, Kamis (14/4). Dalam rapat kerja yang berlangsung Rabu (13/4), Komisi IV DPR dan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti sepakat agar proyek reklamasi Teluk Jakarta dihentikan. ANTARA FOTO/Agus Suparto/pras/ama/16.

Jakarta, Aktual.com — Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai industri perbankan harus turut bertanggung jawab atas maraknya permasalahan di industri properti. Terutama atas kerugian yang dialami konsumen kredit pemilikan rumah (KPR).

Hal itu berdasar hasil penelitian dari YLKI bersama Koalisi Responsi Bank Indonesia soal praktik penyaluran KPR oleh bank terkait dengan prinsip perlindungan konsumen.

“Ada sikap lepas tangan pihak bank atas wanprestasi, jika ada pengembang nakal, seperti gagal bangun, status tanah dan bangunan bermasalah, serta tak ada kepastian refund,” ungkap Peneliti Koalisi ResponsiBank dari YLKI,
Sularsi, dalam siaran pers yang diterima, Jumat (15/4).

Menurur Sularsi, berdasar penelitian pada triwulan-I 2016, ditemukan selama ini bank tidak memberikan akses informasi dan edukasi yang cukup kepada konsumen dalam melakukan penawaran produk KPR.

“Akibatnya, konsumen seringkali dirugikan atas isi perjanjian kredit yang tak dipahami termasuk dampak dan akibat hukum yang mungkin dialami konsumen itu,” ujar dia.

Tercatat sejak tahun 2012, pengaduan masyarakat terkait sektor perbankan dan properti mendominasi pengaduan yang masuk ke YLKI.

Apalagi jumlah backlog yang mencapai 13,5 juta unit rumah pada tahun 2014, tidak diimbangi dengan pasokan yang hanya sebesar 400.000 unit per tahun. Ketimpangan suplai tersebut menyebabkan harga rumah di Indonesia melambung dan tidak terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah.

Karenanya, keterlibatan pihak ketiga, dalam hal ini bank, untuk memfasilitasi pembelian rumah melalui KPR sangat dibutuhkan.

Selain informasi yang terbatas, masalah lain yang menjadi temuan penelitian ini adalah terkait Perjanjian Kerja Sama (PKS).

Biasanya, lanjut dia, PKS ini dianggap tak menguntungkan pihak debitur. Seperti, tidak memberikan perlindungan kepada konsumen, adanya pembatasan pilihan produk KPR, dan kurangnya koordinasi antara pihak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dalam praktik di lapangan.

“Itu semua bagian dari ulah pengembang nakal. Makanya jika secara umum, permasalahan reklamasi teluk Jakarta hanya semacam fenomena gunung es atas permasalahan bobrok sektor properti secara keseluruhan,” tegasnya.

Untuk itu, dia minta, konsumen perlu mendapat informasi dan edukasi yang cukup dalam setiap tahapan penawaran atau pemasaran KPR sebagai bahan pertimbangan sebelum memutuskan pembelian rumah.

“Hal ini sangat penting, mengingat KPR akan terus mengikat konsumen dalam jangka panjang,” pungkas Sularsi.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka