Jakarta, Aktual.com — Wacana restorasi Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) terus menggelinding sejak Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri melemparnya ke publik.

Pengamat Politik sekaligus anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Yudi Latif, menilai perubahan GBHN adalah penting. Mengingat pasca reformasi tidak ada lagi institusi yang meminta pertanggungjawaban presiden.

“Karena dipilih langsung maka yang mengadili hanya rakyat saja,” ujar Yudi dalam diskusi ‘Perlukah GBHN Setelah Reformasi’ di Fraksi PKS DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (3/3).

Menurut Yudi, orde reformasi hendak meniru sistem Amerika Serikat namun ‘salah arah’ karena mengadopsi secara tak konsisten. Ia menjelaskan, setelah MPR dijatuhkan dari posisi lembaga tertinggi, kewenangannya menyusun GBHN juga ditiadakan. Sebagai, gantinya muncul Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) yang ditetapkan dengan UU. RPJPN ini diturunkan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) untuk periode lima tahunan dan Presiden yang menentukan platform politik pembangunannya sendiri.

“Hari ini beda dengan AS. Indonesia pasca reformasi, RPJP presiden ikut susun, MPR engga ikut, DPD enggak ikut ikut, RPJM ditentukan presiden, APBN ditentukan presiden, pelaksanaannya juga presiden tanpa pertanggungjawaban apapun. Kalau presidennya tidak amanah maka negara akan jatuh pada tampuk kekuasaan orang per orang. Maka, pemikiran menghidupkan kembali GBHN, harus ada dipikiran kita,” cetus Yudi.

Lebih lanjut, Yudi mengungkapkan, kekuasaan orang per orang itu jelas terlihat pada sektor pertambangan. Ia menyebut pada akhir orde jumlah ijin tambang hanya sekitar 900, namun sekarang ijin tambang melonjak hingga 11.000. Pasalnya, itu merupakan akibat politik balas budi pembiayaan demokrasi yakni pendanaan kampanye.

“Sebenarnya mau dibawa kemana ? Ini sering kita lihat biaya demokrasi mahal ini juga sudah dibiayai oleh kehancuran Sumber Daya Alam yang luar biasa massif. Ini cara merampok lewat demokrasi tapi esensinya demokrasi seperti ini mempermudah kaum kapitalis untuk mencengkram kekuatan ekonomi,” ungkap dia.

Sementara Presiden, lanjutnya, juga bergeser dari niat trisakti dan nawacita yang seperti tunduk pada kekuasaan kapitalis. Dimana, banyak program dan gagasannya yang tak selesai bahkan cenderung berubah haluan.

“Meskipun presiden datang dengan gagasan nawacita dan tol laut. Ketika semua menunggu pelaksanaan gagasan tol laut yang keluar malah kereta cepat. Padahal platform Merak enggak selesai hingga saat ini. Semestinya selesaikan dulu. Tol laut sebenarnya adalah reklamasi benoa dan Jakarta, tarik lurus benamkan lautnya. Gitu aja,” ujarnya

“Tapi presiden yang datang dengan gagasan tol laut tanpa menyertakan proses musyawarah, proses dampak lingkungan tiba-tiba melompat menyutujui proyek itu,” paparnya

Yudi mengingatkan, para pendiri bangsa menyadari bahwa yang harus Indonesia lawan adalah kapitalis. Untuk mencegah negara jatuh pada kekuasan orang perorang, maka menghidupkan kembali GBHN menjadi penting.

“Karena UU 1945 kini dimanipulasi. Maka jangan biarkan pemilik modal mendikte kebijakan negara,” tandasnya.

Artikel ini ditulis oleh: