Yogyakarta, Aktual.com – Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta menegaskan proses pemberian kompensasi terhadap warga terdampak megaproyek New Yogyakarta International Airport di Kulonprogo tidak bisa dibenarkan secara hukum.

“Proses pemberian kompensasi tidak bisa dibenarkan, bahkan seluruh tahapan pengadaan tanah untuk pembangunan bandara (Kulonprogo) tidak sah secara hukum,” kata Yogi Zul Fadhli dari LBH Yogya kepada Aktual, Jumat (16/9).

Dia menilai terdapat dua alasan utama mengapa proses pemberian kompensasi dianggap cacat hukum. Pertama, pembangunan infrastruktur transportasi udara itu tidak sesuai dengan RTRW yang ada.

Berdasar Perpres 28/2012 tentang RTR Pulau Jawa-Bali Pasal 46 ayat 9 huruf d, Kulonprogo adalah salah satu wilayah rawan bencana alam geologi, ditambah lagi Perda Provinsi DIY 2/2010 tentang RTRW DIY Pasal 51 huruf g yang menetapkan pesisir Kulonprogo sebagai kawasan rawan tsunami.

Bahkan, Perda Kabupaten Kulonprogo 1/2012 Tentang RTRW Kulonprogo Pasal 39 ayat 7 huruf a, lebih detail menegaskan zona rawan tsunami salah satunya meliputi Kecamatan Temon.

Kedua, biaya megaproyek yang diperkirakan membengkak hingga 11 triliun Rupiah ini dibangun tanpa dokumen Amdal serta izin lingkungan sebagaimana diakui Gubernur DIY Sri Sultan HB X akhir Mei lalu.

Sultan mengklaim dirinya tak paham perihal ketentuan Kementerian Lingkungan Hidup bahwa Amdal wajib ada sebelum kepala daerah menerbitkan Izin Penetapan Lokasi sebuah proyek pembangunan.

Dimata hukum, setiap individu menurut LBH dianggap tahu aturan dan wajib mematuhi, sesuai dengan azas presumptio iures de iure, tak terkecuali petani yang tidak lulus SD maupun pejabat negara pemangku kebijakan.

“Semua itu syarat mendasar yang harus ditaati pemerintah maupun pemrakarsa (Angkasa Pura I).”

Diketahui, pada hari terakhir tahap pemberian kompensasi, Kamis (15/9) kemarin, ratusan warga terdampak yang menamakan diri FKPLP (Forum Komunikasi Penggarap Lahan Pesisir) terdiri dari petambak, peternak, pengusaha rumah makan dan penginapan, menuntut pihak Pakualaman memberi kompensasi sepertiga taksiran harga lahan.

Sebelumnya, Martono, Ketua paguyuban petani Wahana Tri Tunggal membeberkan warga terdampak yang pro bersyarat berjumlah sekitar 60 persen. Sedangkan, warga penolak tanpa syarat termasuk WTT ada 30 persen. Namun LBH Yogya selaku kuasa hukum WTT menegaskan tetap tak bergeming atas tawaran kompensasi ganti rugi berapapun besarannya.

Laporan: Nelon Nafis

Artikel ini ditulis oleh:

Nelson Nafis
Wisnu