Jakarta, Aktual.com — Jika ada segelintir jurnalis di era 1930-an yang punya wawasan luas dalam bidang geografi, kartografi dan geopolitik, maka Jamaluddin Adinegoro adalah salah satunya.
Bagi jurnalis muda di tanah air saat ini, nama Adinegoro hanya dikenal sebatas sebagai salah seorang perintis pers nasional yang diabadikan dalam sebuah piagam penghargaan yang sekarang kita kelan sebagai Anugrah Jurnalistik Adinegoro yang diselenggarakan oleh Persatuan Wartawan Indonesia(PWI).
Padahal reputasi Adinegoro sebagai pengelola surat kabar. Meski pernah didaulat memimpin majalah Panji Pustaka pada 1931, namun kiprah jurnalistik pria kelahiran 14 Agustus 1904 itu, mulai berkibar ketika pada 1932 diberi amanah memimpin harian Pewarta Deli. Sepertinya, studi yang ditempuhnya di Jerman antara 1926-1930 dalam ilmu jurnalistik yang mengkhususkan diri dalam bidang geografi, kartografi dan geopolitik, telah menumbuhkan minatnya dalam mencermati dan mengikuti perkembangan dunia internasional pada akhir dekade 1920-an dan awal dekade 1930-an.
Pada 1926, ketika Adinegoro menempuh studi di Berlin, Muenchen dan Wurzburg, di Jerman, Republik Weimar sedang dilanda frustrasi akibat kekalahannya pada Perang Dunia I terhadap Pasukan Sekutu. Selain itu, perekonomian nasional Jerman sedang terpuruk dan mengalami inflasi akut. Sementara itu Adolf Hitler, yang pada saat itu mewakili sentimen nasionalisme Jerman yang merasa sedang dizalimi oleh Amerika Serikat, Inggris dan Perancis, mulai merintis embrio kelahiran Partai Nazi yang berhaluan fasisme berikut jejaring politik dan militernya.
Adinegoro yang kala itu sedang giat-giatnya studi jurnalistik dan sastra di Jerman pada 1926, mengikuti dengan seksama gejala-gejala yang terjadi di Jerman dan Eropa pada waktu itu. Maka ketika pada 1932 Adinegoro kembali ke tanah air, Pewarta Deli seakan-akan sudah menyiapkan sebuah sarana bagi Adinegoro untuk menyalurkan bakat-bakat khususnya tersebut. Adinegoro didaulat menjadi Pemimpin Redaksi.
Pewarta Deli, koran ini terkenal dan digemari pembacanya karena tinjauan dan ulasan-ulasan luar negerinya yang tajam dan mendalam.
Melalui rubrik Pemandangan Luar Negeri, Adinegoro memaparkan secara lugas perkembangan situasi dunia. Ketika Nazi Jerman mulai mencaplok negara-negara tetangganya di kawasan Eropa, ketika Fasis Jepang mulai menyerang Tiongkok. Singkatnya, Adinegoro benar-benar berada di pusat peristiwa menjelang meletusnya Perang Dunia II.
Mari simak gaya penulisan Adinegoro dalam salah satu ulasannya tentang Inggris, musuh utama Jerman pada Perang Dunia II, melalui analisisnya di Pewarta Deli pada 28 Juni 1932.
“Inggris dalam kepayahan besar. Tengok kiri, tengok kanan, kelihatan musuh, kelihatan muka saja di sekelilingnya, tak ada yang membalas muka manis John Bull itu dengan senyum. British Empire sudah bertambah kabur cahayanya. Bintang England mulai turun.”
Karir jurnalistiknya tidak berhenti di Pewarta Deli. Saat penjajahan Jepang di Indonesia pada 1942-1945, Adinegoro bekerja selama dua tahun di surat kabar Sumatera Shimbun. Ketika Indonesia merdeka dan Belanda mencoba kembali untuk menjajah bumi nusantara, Adinegoro bergabung menjadi anggota redaksi majalah Mimbar Indonesia, bersama Prof Supomo, Sukarjo Wiryopranoto, membawakan suara kaum republiken. Bahkan di masa revolusi fisik ini, Adinegoro juga sempat memotori penerbitan koran Kedaulatan Rakyat di Bukit Tinggi.
Setelah Indonesia sepenuhnya merdeka, Adinegoro memimpin Persbureau Indonesia, PIA. Sayangnya kemudian PIA dibubarkan oleh Presiden Sukarno yang hanya menghendaki adanya satu kantor berita, yakni Antara. Sehingga kemudian Adinegoro bergabung ke Antara, sebagai kepala bidang penelitian. Namun pada prakteknya, dia disingkirkan oleh para wartawan yang dekat dengan komunis.
Adinegoro memang akhirnya masih sempat menyaksikan pembersihan elemen-elemen komunis di Antara. Sayangnya, kala itu dia sudah sakit-sakitan. Adinegoro mengabdi di Antara hingga akhir hayatnya pada 8 Januari 1967 di Jakarta.
Tidak banyak orang tahu bahwa putra asal Talawi, Sumatera Barat ini adalah saudara Muhammad Yamin dari lain ibu. Nama aslinya adalah Djamaluddin gelar Datuk Madjo Sutan. Passion atau gairahnya dalam bidang jurnalistik memang sudah terlihat sejak studi di Sekolah Tinggi Kedokteran bagi Bumiputera (STOVIA).
Di kampus pertamanya inilah, Adinegoro mulai merintis bakat jurnalistiknya dengan membantu redaksi Tjaja Hindia, surat kabar milik Datuk Tumenggung. Bosnya inilah yang menyarankan nama samaran Adinegoro karena sebagai siswa STOVIA tidak diperbolehkan untuk menulis di surat kabar.
Namun passion-nya di dunia kewartawanan mendorong Adinegoro untuk keluar dari STOVIA, dan sepenuhnya berkecimpung di dunia persuratkbaran. Seperti Bintang Timur, Panji Pustaka, dan tentu saja Pewarta Deli.
Sebagai jurnalis, Adinegoro memang serba bisa. Wartawan, pendidik dan pengarang. Sebagai pendidik juru warta, Adinegoro mendirikan Perguruan Tinggi Jurnalistik di Jakarta, bahkan ikut membangun Fakultas Publisistik dan Jurnalistik di Universitas Padjajaran, Bandung.
Sebagai jurnalis idealis, pada 1958 Adinegoro bertutur seputar perjuangan jurnalsme nasional:
“Pers yang sehat hanya akan dapat subur tumbuhnya dan terjamin perkembangannya menurut sewajarnya dalam suasana bebas dan tidak terbatas. Kalau fakta tidak boleh lagi diberitakan secara sebenarnya, obyektif, aktual, tak dicampur-adukkan dengan opini, kalau sudah dilarang pula kritik yang zakelijk, kritik yang konstruktif, yang bukan berupa fitnahan atau penghinaan dan pengacauan, suara bebas tak dapat dilancarkan lagi oleh pers, maka kehidupan pers itu tak ada jaminan lagi akan menjadi sehat dan zelf-critiek akan layu dan mati dalam dada manusia Indonesia.”
Yang tak terbayangkan dalam benak Adinegoro ketika itu, betapa saat ini pengekangan prinsip-prinsip kerja jurnalistik seperti dia nyatakan tadi, justru datang dari para pemilik modal yang menguasai media massa. Sehingga media kemudian menjadi corong atau pembawa suara kepentingan para pengusaha dan pemilik modal. Bukan dari rejim penguasa seperti di era Demokrasi Terpimpin maupun di era Orde Baru.
Artikel ini ditulis oleh:
Hendrajit