Pilpres 2019, Prabowo mau kemana? (ilustrasi/aktual.com)

Ijtima Ulama dan Tokoh Nasional yang digelar oleh Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) ulama, di Hotel Menara Peninsula, Sabtu (28/7) malam merupakan gagasan acara puncak dari perjuangan umat terkait berbagai aspek yang diwakil GNPF Ulama. Tidak terkecuali, mengenai perjuangan dalam menghadapi pemilihan presiden (Pilpres) 2019 mendatang, yang sudah dipastikan akan diikuti hanya dua pasangan calon presiden dan calon wakil presiden saja.

Dalam acara forum tokoh ulama dan nasional tersebut, akhirnya merekomendasikan sejumlah point yakni merekomendasikan Letjen TNI (Purn) H. Prabowo Subianto – Al Habib DR. H. Salim Segaf Al Jufri yang juga sekaligus ketua majelis syuro PKS sebagai calon presiden dan calon wakil presiden untuk didaftarkan ke KPU oleh partai koalisi keumatan dalam kontestasi pemilihan presiden 2019. Tidak hanya itu, Prabowo Subianto juga dipasangkan dengan Ustadz Abdul Somad Batubara Lc.,M.A, sebagai rekomendasi kedua.

Alhasil, banyak yang menilai jika rekomendasi ini membuat kebuntuan Prabowo dalam memilih Cawapres di tengah koalisi partainya cenderung menjadi lebih mudah, atau justru membuat situasi kian rumit, terlebih ketika Ustadz Abdul Somad yang sudah memberikan pernyataannya menolak untuk dicalonkan dalam kontestasi lima tahunan tersebut.

Artinya, bila merujuk dari hasil rekomendasi itu, tinggal satu nama yang menjadi rekomendasi Ijtima’ Ulama untuk menjadi pendamping Prabowo yakni mantan menteri sosial era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Salim Segaf Al-Jufri. Tentu saja, nama Salim tidak terlepas mewakili kepentingan partai pimpinan Sohibul Iman itu untuk mendapatkan posisi nomor urut dua di kancah pertarungan nasional mendatang.

Kini justru, Prabowo dalam memilih pendamping menjadi kian luas, bila tidak mengikuti rekomendasi ulama, Prabowo dinilai telah bertentangan dengan keinginan umat. Terlebih, jenderal bintang tiga itu sudah melakukan kontrak politik dengan Ijtima’ ulama. Dikatakan kontrak, meski hanya sebatas sebagai pernyataan politik, secara moral adalah kontrak politik. Bentuk janji dan harus ditepati. Apalagi dinyatakan di depan media massa.

Setidaknya ada dua kontrak politik Prabowo dengan ulama di acara Ijtima’. Pertama, Prabowo siap mundur dan mendukung calon lain jika ada yang lebih baik darinya. Pernyataan tersebut, membuat Prabowo berhasil memberikan pesan positif ke publik bahwa ia adalah seorang negarawan sejati. Maju Capres hanya semata-mata karena ingin memberikan baktinya kepada bangsa dan negara. Narasi kuatnya seolah berbunyi: “aku hadir untuk menyelamatkan bangsa”. No ambisi. No nafsu kekuasaan.

Yang kedua, Prabowo memastikan diri ikut keputusan Ijtima’. Taat pada Imam Besar FPI Habib Rizieq Shihab apapun keputusan Ijtima’ itu, ia akan ikut.

Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa, Tony Rosyid mengatakan bahwa Prabowo dikenal sebagai jenderal yang setiap kata dan janjinya ditepati. Soal komitmen, Prabowo punya track record baik. Saat ini, konsistensi Prabowo atas pernyataannya di pembukaan acara Ijtima’ Ulama sedang diuji kembali. Terima Habib Salim dengan semua konsekuensinya.

“Apa konsekuensinya? Pertama, belum tahu survei elektabilitasnya. Kedua, mungkin soal logistik yang selama ini jadi kerisaukan Gerindra. Ketiga, hadapi partai koalisi lainnya yaitu PAN dan Demokrat jika tidak sepakat dengan Habib Salim sebagai Cawapres Prabowo,” kata Tony, di Jakarta, Selasa (31/7).

Tidak hanya menguji integritas Prabowo, tapi juga kemampuan Prabowo melakukan komunikasi politik dengan Parpol koalisi, yakni PKS, PAN, dan Demokrat. Di sini, kepemimpinan Prabowo sedang diukur.

Perolehan Suara Partai

Artikel ini ditulis oleh:

Novrizal Sikumbang