Meski menjadi rekomendasi ulama, apakah kemudian dua partai lain di dalam koalisi Prabowo akan menerima segala legowo hasil tersebut. Terlebih, ketika perolehan suara partai di Pemilu 2014 lalu, posisi PKS menempati suara paling bulit alias kecil dibandingkan dua partai politik (Parpol) lainnya, yaknis PAN dan Demokrat.

Untuk diketahui, Partai Gerindra sebesar 11.81 persen, Partai Demokrat sebesar 10.19 persen, PAN sebesra 7,59 persen, dan terakhir PKS 6,79 persen.

Bila berdasarkan hitungan besaran perolehan suara, maka sudah barang tentu Demokrat menjadi partai yang paling besar peluangnya untuk kemudian dipilih sebagai pendamping. Apalagi, komunikasi politik yang dijalin dengan Partai Demokrat, sebelum terbitnya rekomendasi para ulama, sudah berlangsung cukup lama dan mesra. Tentu saja, tergambar dengan resminya Partai Demokrat diterima dalam koalisi Prabowo.

Politik di Indonesia dalam membagi kekuasaan, seperti jabatan menteri diberikan merujuk dari besaran perolehan suara partai dalam Pemilu sebelumnya. Maka, partai yang memiliki lebih tinggi perolehan suara tentunya mendapatkan banyak posisi. Berdasarkan informasi yang dihimpun, setiap partai politik (Parpol) koalisi Jokowi sudah mendapatkan jatah kursi kekuasaan terlebih dahulu.

Bahkan, hal itu diisyaratkan dengan jelas oleh Wakil Ketua Umum DPP PPP Arwani Thomafi terkait dengan soliditas koalisi Jokowi yang akan tetap terjaga hingga pertarungan di Pilpres 2019 nanti. Meski, Cawapres yang nantinya dipilih Jokowi bukan berasal dari internal koalisi maupun salah satu dari unsur mereka.

Arwani menegaskan, dasar delapan partai politik yang sudah menyatakan mendukung Jokowi pada Pilpres bukanlah semata-mata mendapatkan jabatan. Persoalan bahwa ada kader partai politik pendukung yang nantinya mendapatkan jabatan menteri pada kabinet Jokowi jilid II, itu merupakan konsekuensi dari partai politik untuk mengawal jalannya pemerintahan.

“Saya melihat komitmen parpol pendukung Pak Jokowi ikhlas, tulus, bukan karena ingin mencari jabatan, bukan saya masuk tapi saya dapat cawapres ya, enggak. Mereka tulus ,” ujar Arwani, di Kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (12/7).

“Bahwa pada akhirnya ada hal-hal yang harus dijadikan sharing, itu konsekuensi yang memang jadi tanggung jawab seluruh Parpol untuk mengawal pemerintahan ke depan. Misalnya siapa nanti yang bertugas menjadi menteri ini, menteri itu. Itu bukan soal rebutan jabatannya. Tapi Parpol memang harus punya peran masing-masing kadernya,” lanjut dia.

Tidak bisa dipungkiri, keinginan Prabowo Subianto untuk menjadikan putra sulung SBY sebagai pendamping sudah melalui perhitungan. Salah satunya, bagaimana Ketua Kogasma Pemenangan Pemilu Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) akan dapat merangkul pemilih muda, yang diperkirakan akan sangat banyak di 2019 nanti.

“Kenapa saya mengatakan kita pun melirik saudara AHY. Masalahnya adalah bahwa bagian dari pemilih yang usia di bawah 45 tahun besar sekali,” kata Prabowo di kediamannya Jalan Kertanegara, kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat, (6/7).

Prabowo mengatakan dengan adanya Cawapres yang usianya muda maka akan memiliki ikatan emosional yang baik dengan pemilih muda.

Sementara itu, masih adanya generasi tua seperti dirinya dalam percaturan politik, karena masih peduli dengan kondisi bangsa.

“Karena indonesia ini milik anak-anak muda. kami ini harus menyiapkan, kenapa kami masih di panggung karena kami tidak rela melihat negara ini seperti ini,” sebutnya

Sementara itu, terhadap dua nama hasil rekomendasi Ijtima Ulama, Ustadz Abdul Somad dan Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera Salim Segaf Al Jufri juga dinilai memiliki modal untuk menaikan elektabilitas Prabowo Subianto di Pilpres.

“Keduanya punya basis massa real ya. Misalnya, Salim Ketua Majelis Syuro PKS yang punya basis massa yang kuat,” kata Peneliti Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Danny JA, Adrian Sopa Adrian di Kantor LSI, Jakarta Selasa (31/7).

Selain PKS punya basis massa yang kuat, Adrian juga menilai sosok Salim Segaf merupkan representasi tokoh Islam dan tokoh Indonesia bagian timur. Hal ini dinilai melangkapi Prabowo yang berlatar belakang militer dan berasal dari Jawa.

Lalu, bagaimana elektabilitas Abdul Somad dan Salim Segaf? Ustaz Somad juga dinilai punya basis massa yang tidak sedikit. Sebab, dia dikenal sebagai tokoh yang kerap keliling ke daerah-daerah untuk ceramah.

Namun, Adrian menilai bahwa kekuatan tersebut tidak cukup dan perlu dikembangkan dari sisi elektabilitas atau tingkat keterpilihan. Sebab, berdasarkan data LSI, elektablitas keduanya tidak sampai lima persen, masih sangat rendah.

Kemenangan dan Keputusan Ulama

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Novrizal Sikumbang