Tersangka Bupati Banjarnegara nonaktif Budhi Sarwono (kiri) memasuki Gedung Merah Putih KPK untuk menjalani pemeriksaan di Jakarta, Jumat (24/9/2021). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/rwa.

Jakarta, Aktual.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendalami berbagai proyek yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, terkait kasus yang menjerat Bupati Banjarnegara nonaktif Budhi Sarwono (BS).

Untuk mendalaminya, KPK pada Jumat (22/10) memeriksa enam saksi dalam penyidikan kasus dugaan korupsi turut serta dalam pemborongan, pengadaan atau persewaan di Dinas PUPR Pemkab Banjarnegara Tahun 2017-2018 dan penerimaan gratifikasi.

“Bertempat di Gedung Perwakilan BPKP Provinsi Jawa Tengah, Semarang, Jumat (22/10), tim penyidik telah memeriksa sejumlah saksi untuk BS dan kawan-kawan. Para saksi hadir dan dikonfirmasi, antara lain terkait dengan keikutsertaan para saksi dalam berbagai proyek yang dilaksanakan Pemkab Banjarnegara,” kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya di Jakarta, Senin.

Enam saksi, yakni Imam Naf’an dari pihak swasta, Dwi Lingga Setiawan selaku Direktur CV Berkah Abadi, Ari Subagyo selaku Direktur PT Buton Tirto Baskoro, Zainal Arifin selaku Direktur CV Akbar, Aris Budiyanto dari pihak swasta, dan Kusno Wahyudi selaku Direktur CV Kusno Banjarnegara.

Selain itu, KPK juga mengonfirmasi mereka mengenai dugaan adanya peran dari tersangka Budhi dalam proses pelaksanaan hingga penentuan pemenang lelang proyek pekerjaan.

KPK menginformasikan satu saksi yang tidak memenuhi panggilan Jumat (22/10), yaitu Firman Hartoyuwono selaku Komisaris PT Dieng Persada Nusantara.

“Tidak hadir dan mengonfirmasi untuk kembali diagendakan pada pemeriksaan selanjutnya, ucap Ali.

Selain Budhi, KPK juga menetapkan Kedy Afandi (KA) dari pihak swasta/orang kepercayaan Budhi sebagai tersangka.

Dalam konstruksi perkara, KPK menyebut pada September 2017, Budhi memerintahkan Kedy memimpin rapat koordinasi (rakor) yang dihadiri para perwakilan asosiasi jasa konstruksi di Kabupaten Banjarnegara.

Dalam pertemuan tersebut, disampaikan sebagaimana perintah dan arahan Budhi, Kedy menyampaikan bahwa paket proyek pekerjaan akan dilonggarkan dengan menaikkan harga perkiraan sendiri (HPS) senilai 20 persen dari nilai proyek dan untuk perusahaan-perusahaan yang ingin mendapatkan paket proyek dimaksud diwajibkan memberikan komitmen “fee” sebesar 10 persen dari nilai proyek.

Pertemuan lanjutan kembali dilaksanakan di rumah pribadi Budhi yang dihadiri beberapa perwakilan Asosiasi Gapensi Banjarnegara dan secara langsung Budhi menyampaikan di antaranya menaikkan HPS senilai 20 persen dari harga saat itu. Dengan pembagian lanjutannya adalah senilai 10 persen untuk Budhi sebagai komitmen “fee” dan 10 persen sebagai keuntungan rekanan.

Selain itu, Budhi berperan aktif dengan ikut langsung dalam pelaksanaan pelelangan pekerjaan infrastruktur di antaranya membagi paket pekerjaan di Dinas PUPR Kabupaten Banjarnegara, mengikutsertakan perusahaan milik keluarganya, dan mengatur pemenang lelang.

Kedy selalu dipantau serta diarahkan oleh Budhi saat melakukan pengaturan pembagian paket pekerjaan yang nantinya akan dikerjakan perusahaan milik Budhi yang tergabung dalam Grup Bumi Rejo.

Penerimaan komitmen “fee” senilai 10 persen oleh Budhi dilakukan secara langsung maupun melalui perantaraan Kedy.

KPK menduga Budhi telah menerima komitmen “fee” atas berbagai pekerjaan proyek infrastruktur di Kabupaten Banjarnegara sekitar Rp2,1 miliar.

Atas perbuatannya, Budhi dan Kedy disangkakan melanggar Pasal 12 huruf i dan atau Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Artikel ini ditulis oleh:

Antara
Dede Eka Nurdiansyah