Jakarta, Aktual.com – Rencana pemerintah untuk bekerja sama perdagangan bebas (free tarde) dengan negara lain memang tidak masalah, selama dibarengi dengan penguatan kekuatan lokal.

Namun sayangnya hingga kini, ketika kerja sama free trade diteken justru pemerintah malah tak memiliki persiapan termasuk dalam konteks reindustrialisasi. Hal ini yang dikeluhkan oleh kalangan pengusaha dari Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia.

“Memang kita tidak bisa menghindar dari pasar bebas di dunia. Tapi sekalipun kita harus go global, kita juga jangan asal tanda tangan saja,” cetus Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Industri, Johny Darmawan, di Jakarta, Jumat (23/9).

Menurutnya, semua negara di dunia yang sudah menjalin kerja sama, pada awalnya memang melakukan persiapan di negaranya untuk melindungi kepentingan nasionalnya. Termasuk Amerika Serikat dan Jepang.

“AS dan Jepang kenapa sekarang menguasai pasar dunia, karena sebelum kerja sama diteken, mereka mempersiapkan dulu. Oke, saya agree tapi butuh 20 tahun lagi untuk mempersiapkannya,” papar dia.

Tapi hal ini, tidak terjadi di Indonesia. Mestinya kalau Presiden mengatakan siap untuk kerja sama maka tim ekonominya harus melakukan persiapan yang matang.

“Tapi saat tidak ada tuh, tim think tank di belakang Presiden yang mau merumuskan konsep persiapannya. Yang ada Menteri Perdagangan kita selama ini lemah dalam diplomasi. Sehingga malah mengikuti kemauan negara lain,” papar dia.

Yang ada saat ini, kata dia, sektor industri masih menghadapi sejumlah permasalahan dalam beberapa tahun terakhir. Sehingga sektor ini hanya bisa tumbuh 4,25 persen sepanjang 2015.

Apalagi memang, lanjutnya, porsi sektor industri di perekonomian nasional juga rendah. Di 2013 sebesar 4,37 persen, namun tahun lalu malah turun menjadi 4,25 persen.

“Ini yang kemudian di kita terjadi deindustrialisasi. Apalagi deindustrialisasi yang terjadi di kita termasuk deindustrialisasi dini. Dimana sektor industri menurun terhadap perekonomian sebelum sektor industri di kita bertumbuh matang. Tidak seperti di AS,” papar dia.

Hal ini terjadi, karena paket kebijakan yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah selama ini belum memberikan dampak yang signifikan terhadap sektor perindustrian.

“Pada triwulan II-2016, sektor industri pengolahan hanya tumbuh 4,74 persen, jauh di bawah pertumbuhan ekonomi nasional yang mencapai 5,18 persen,” kata dia.

Jika kondisinya begitu, kata dia, bagaimana sektor industri bisa bersaing dengan sektor yng sama dari negara lain dalam rangka perdagangan bebas. Jangan sampai pada akhirnya, Indonesia kembali menjadi pasar besar.

Seperti sektor otomotif, kata dia, masih membutuhkan persiapan sekitar enam tahun lagi. Untuk itu, pemerintah perlu melakukan pendalaman sektor industri ini.

“Karena pada akhirnya, kita pasti akan menjalin kerja sama perdagangan dengan negara lain. Kita tidak bisa mengiyakan, no. Karena akan terisolasi. Tapi ya harus ada persiapan matang,” pungkas pengusaha sektor otomotif ini.

Penendatanganan kerja sama terbaru dengan negara-negara Uni Eropa. Banyak pihak menyangkan sikap Presiden Jokowi ini. Karena sektor-sektor unggulan di dalam negeri belum ada persiapan matang untuk menghadapi serbuan produk Uni Eropa.

(Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka