Jakarta, Aktual.com – Sektor media massa Indonesia saat ini tengah menghadapi musim gugur yang tak terduga. Ironisnya, badai itu datang tepat setelah Hari Buruh 1 Mei, saat para pekerja merayakan perjuangan dan eksistensi mereka. PHK massal menggulung para jurnalis dan pekerja media, bukan karena krisis global atau pandemi, tetapi justru ketika ekonomi nasional tengah stabil dan indikator makro memperlihatkan angka-angka optimistis.
Menanggapi Hal tersebut, Anggota Komisi I DPR RI Amelia Anggraini mengemukakan bahwa media penyiaran akan mati perlahan jika Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang sudah berusia lebih dari 20 tahun tidak direvisi.
Selain itu Amelia juga mengatakan bahwa pada masanya, Undang-Undang (UU) Penyiaran tersebut sangat relevan untuk ekosistem penyiaran. Namun, pada hari ini sudah terjadi ledakan konten digital yang tidak lagi terikat pada frekuensi publik dan tidak tunduk pada sistem perizinan yang berlaku bagi media konvensional.
“Kompetisi tidak sehat antara media sosial yang personal dan media penyiaran yang harus taat regulasi dan etik,” katanya, Jumat (9/5).
Kalau UU Penyiaran tidak segera beradaptasi, lanjut Amelia, Indonesia akan menyaksikan pelan-pelan matinya media penyiaran nasional, yang membuat matinya salah satu penyangga demokrasi.
Dia mengatakan isu revisi UU Penyiaran bukan hanya menyangkut aspek teknis penyiaran, melainkan juga menyangkut fondasi demokrasi, yakni hak masyarakat atas informasi yang adil, akurat, dan bertanggung jawab.
Dikatakan Amelia, media penyiaran saat ini dihadapi berbagai tantangan, salah satunya adalah asimetri regulasi, yakni mereka harus tunduk pada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), perizinan, kode etik jurnalistik, tetapi konten digital personal yang viral bebas tanpa batas.
Selain itu, menurut dia, saat ini terjadi monetisasi digital tidak adil, di mana platform global mengambil mayoritas keuntungan dari iklan, sementara media nasional berjuang menjaga keberlangsungan bisnis.
Akibatnya, dia menilai bahwa ada potensi disinformasi dan polarisasi, ketika masyarakat lebih percaya konten viral daripada jurnalisme faktual. Fenomena tersebut, kata dia, akan sangat membahayakan bagi masyarakat.
Dia pun memastikan Komisi I DPR RI akan merumuskan Rancangan UU Penyiaran yang berlandaskan pada keadilan ekosistem informasi agar kedua jenis media itu mendapatkan hal yang setara, tetapi tetap tunduk pada prinsip tanggung jawab.
Selain itu, dia mengatakan harus ada transparansi pada algoritma platform digital. Saat ini, dia mengaku sedang mengkaji relevansi prinsip publisher rights untuk memastikan media lokal mendapat kompensasi yang adil.
Di sisi lain, dia menilai masyarakat perlu perlindungan dari konten berbahaya, terutama hoaks, kekerasan berbasis gender, ujaran kebencian, dan konten manipulatif.
Dia pun menegaskan bahwa keberlanjutan media penyiaran bukan hanya soal bisnis dan teknologi, melainkan soal menjaga kesadaran kolektif kita sebagai bangsa. Menurut dia, demokrasi hanya hidup ketika informasi bisa dipercaya.
“Dan informasi hanya bisa dipercaya jika lahir dari ekosistem yang adil dan bertanggung jawab,” katanya.