Seorang pria berjalan di samping tumpukan karung beras di gudang beras Bulog di Kupang, NTT, Kamis, (8/12). Badan Urusan Logistik (Bulog) Divisi Regional NTT memastikan jumlah stok beras yang ada di wilayah provinsi berbasis kepulaun itu mencapai 48.720 ton dan bisa bertahan hingga enam bulan kedepan. ANTARA FOTO/Kornelis Kaha/pd/16.

Jakarta, Aktual.com – Direktur Advokasi Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM, Oce Madril menginginkan adanya audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terkait penumpukan beras yang masih ada di gudang Bulog.

“Barang itu sampai menumpuk dan malah membusuk, padahal situasi masyarakat di sisi lain banyak yang membutuhkan. Dalam hal itu, potensi kerugian itu tetap ada, maka harus diaudit oleh BPK dan BPKP,” kata Oce dalam pernyataan di Jakarta, Jumat (10/5).

Oce mengatakan saat ini masih banyak beras yang menumpuk dan kemudian membusuk di gudang Bulog karena tidak tersalurkan dengan baik kepada masyarakat.

Oleh karena itu, audit itu diperlukan untuk melihat kemungkinan terjadinya ketidaksesuaian antara rencana dengan realisasi, karena penumpukan beras itu berpotensi menyebabkan pemborosan dan menimbulkan kerugian negara.

“Boleh jadi memang perencanaan dan realisasi tidak dirancang dengan baik, sehingga barang sudah dibeli melalui APBN itu tidak terpakai,” kata Oce.

Dalam kesempatan terpisah, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Firdaus Ilyas menilai terdapat pekerjaan rumah yang besar di Bulog menyangkut tata kelola yang baik untuk menjalankan tugas menyangga pangan nasional.

Salah satu tugas yang belum usai tersebut antara lain belum adanya data yang baik mengenai produksi, maupun kebutuhan dan ketersediaan pasokan di gudang.

“Kita banyak menemukan ketidaksinkronan data, baik data produksi, kebutuhan dan barang yang ada di Bulog,” kata Firdaus.

Hal tersebut diperparah dengan adanya dugaan praktek pemburu rente yang memanfaatkan kelangkaan bahan
pangan serta pengaduan tidak adanya beras Bulog di pasar tradisional.

Selain itu, inovasi beras sachet untuk mengatasi persoalan penumpukan beras juga tidak efektif pelaksanaannya dan berpotensi menyebabkan kerugian produksi.

“Ada pihak-pihak yang mengambil keuntungan dari ketidakcukupan persediaan pangan,” ujar Firdaus.

Sebelumnya, Direktur Pengadaan Perum Bulog Bachtiar mengatakan penyaluran beras Bulog agak tersendat karena saat ini tidak ada lagi program beras sejahtera.

Kondisi itu yang menyebabkan sebanyak 1,6 juta ton beras masih tersimpan di berbagai gudang Bulog di seluruh Indonesia, padahal sebentar lagi mulai memasuki musim panen.

Sebagai upaya memperlancar penyaluran beras tersebut, Bulog berencana untuk memberikan beras itu kepada Aparatur Sipil Negara (ASN).

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Arbie Marwan