Jakarta, Aktual.com — Pelegalan pernikahan sejenis di Amerika Serikat disambut euforia oleh para pelaku cinta sejenis, dan para pendukungnya, di seluruh dunia.

Mereka tampaknya berharap pelegalan pernikahan sejenis oleh Amerika Serikat, yang merupakan “kiblat” kebebasan dunia, juga diikuti oleh negara-negara lain.

Mereka beranggapan pelarangan pernikahan sejenis merupakan bentuk dari pelanggaran hak asasi manusia (HAM) karena mencintai dan hidup bersama, meskipun oleh jenis kelamin yang sama, adalah hak.

Euforia pelegalan pernikahan sejenis juga terjadi di Indonesia, meskipun hanya di dunia maya melalui media sosial. Hal itu terlihat dengan penggunaan latar belakang warna pelangi pada foto profil pengguna media sosial seperti Facebook dan Twitter.

Mengapa pelangi? Karena bendera dengan warna-warni pelangi merupakan lambang perjuangan para aktivis pecinta sejenis atau lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) dalam memperjuangkan hak-hak mereka.

Namun, isu pelegalan pernikahan sejenis di Indonesia tentu saja menimbulkan sikap pro dan kontra, begitu pula melalui media sosial.

Ada yang berpendapat perasaan cinta terhadap jenis kelamin yang sama merupakan hak asasi yang tidak boleh dilarang. Ada pula yang berpendapat bahwa itu merupakan bentuk penyimpangan seksual yang berkaitan dengan kejiwaan.

Namun, para pendukung LGBT membantah dan menyatakan homoseksualitas telah dihilangkan dari daftar penyakit kejiwaan.

Sebenarnya, bagaimanakah pandangan psikiatri atau ilmu kejiwaan di Indonesia? Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) Cabang Bandung dan sekitarnya dr Irwanto Ichlas SpKJ-Konsultan mengatakan dokter jiwa di Indonesia melihat homoseksualitas berdasarkan perundang-undangan yang berlaku.

“Pada 1990, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memang mengeluarkan homoseksualitas dari Klasifikasi Penyakit Internasional (ICD) yang juga diikuti Kementerian Kesehatan terhadap Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) edisi III pada 1993,” kata Irwanto Ichlas.

Namun, berdasarkan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, bukan berarti pernikahan sejenis bisa dilakukan di Indonesia. Pasalnya, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan hanya mengakui perkawinan antara laki-laki dan perempuan.

Menurut pandangan kejiwaan sendiri, Irwanto mengatakan homoseksualitas dibagi menjadi dua, yaitu egosintonik yang disebabkan faktor genetik dan egodistonik yang disebabkan oleh faktor pengalaman, misalnya mengalami aktivitas homoseksual karena paksaan.

“Untuk kategori yang pertama, memang sudah tidak akan bisa diapa-apakan karena ‘sudah dari sananya’. Penanganan dari psikiater biasanya untuk meminimalkan dampak negatif, misalnya mencari pacar sejenis dengan memaksa,” tuturnya.

Namun untuk kategori kedua, karena ada faktor pengalaman yang berkaitan dengan kejiwaan, masih bisa ditangani oleh psikiater sehingga bisa kembali menyukai lawan jenis.

“Karena itu, teori homoseksualitas bagi psikiatri sendiri memang masih rancu karena banyak teori yang bertentangan satu sama lain,” jelas Kepala Laboratorium Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Ahmad Yani Cimahi.

Irwanto mengatakan salah satu teori awal mengenai homoseksual dicetuskan oleh Sigmund Freud yang menyatakan semua anak bisa menjadi homoseksual bila fase-fase perkembangan dalam hidupnya, terutama fase terkait seksualitas, tidak terselesaikan dengan baik.

Teori berikutnya muncul 10 tahun setelah teori Freud, yang menyatakan orientasi seksual seseorang ditentukan oleh kontak seksual yang pertama kali terjadi. Bila kontak pertama yang terjadi dari kelamin sejenis, dan seseorang merasa nyaman dan senang, maka seseorang bisa menjadi homoseksual.

Teori berikutnya adalah teori organik yang menyatakan homoseksual terjadi secara genetik. Pengusung teori ini membedah otak dan menyatakan data setelah kematian atau “postmortem” antara homoseksual satu dengan lainnya sama.

“Namun, teori ini menjadi kontroversi dan dibantah banyak pihak karena diduga yang membuat seorang homoseksual,” ujar psikiater konsultan di Rumah Sakit Dustira dan Rumah Sakit dr Salamun Bandung itu.

Karena itu, dosen Program Pendidikan Dokter Spesialis Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran Bandung itu mengatakan sebagai psikiater melihat perilaku homoseksual melalui tiga hal, yaitu organik, psikologi dan sosiokultural.

“Secara organik berarti secara biologis dan hormonal, termasuk di dalamnya faktor genetik. Sedangkan faktor psikologi berarti melihat dari sisi perkembangan dan pertumbuhan kejiwaannya sedari kecil,” katanya.

Sedangkan, faktor sosiokultural, kata Irwanto, bisa terjadi di beberapa kebudayaan, misalnya para pelaku seni tari di beberapa daerah yang seringkali memainkan lakon yang bertolak belakang dengan jenis kelaminnya.

Hanya ikuti tren Lalu bagaimana pandangan seorang homoseksual terhadap euforia pelegalan pernikahan sejenis di Amerika Serikat yang juga melanda sebagian orang di Indonesia? Nove (29), seorang lesbian yang bekerja sebagai editor di salah satu media massa di Jakarta itu menilai euforia homoseksualitas di Indonesia hanya sebuah tren dan saat ini sedang berkembang.

“Mungkin pendapatku tidak bisa mewakili pandangan teman-teman LGBT lainnya karena aku memang tidak bergabung dengan komunitas apa pun. Bahkan aku agak kontra. Aku menilai belakangan mereka terlalu berlebihan menunjukkan eksistensi,” katanya.

Nove mengatakan salah satu hal yang memicu tren homoseksualisme adalah televisi. Dia kemudian menyebut nama sebuah duet pemusik perempuan yang kerap diidentikkan dengan lesbianisme.

Terkait pergerakan kelompok LGBT di Indonesia, Nove menilai bukan sebagai perjuangan. Dia menilai pergerakan kelompok LGBT dan pendukungnya lebih kepada untuk menunjukkan eksistensi, tetapi tidak pada tempatnya.

“Indonesia kan negara yang menjunjung budaya ketimuran dan belum bisa menerima perilaku homoseksual. Kita tentu juga harus menghargai yang lain,” ucapnya.

Apalagi, Nove melihat teman-temannya yang bergabung dalam komunitas LGBT ternyata juga tidak melakukan apa-apa. Mereka terkesan eksklusif dan poin-poin yang dibicarakan lebih banyak soal percintaan dan perselingkungan.

“Kalau mereka mau membaur, pasti yang dibicarakan bisa lebih banyak dan lebih berkualitas. Mereka juga pasti bisa lebih diterima di masyarakat kalau mau membaur,” tuturnya.

Terkait adanya euforia pernikahan sejenis di Indonesia, bahkan oleh non-LGBT yang secara terang-terangan mendukung, Nove mengatakan hal tersebut justru menimbulkan tanda tanya.

“Kalau mereka bukan LGBT, untuk apa mereka memasang foto pelangi di media sosial? Aku saja tidak begitu. Budaya Indonesia belum bisa menerima homoseksual, kok sudah berani menyatakan mendukung,” katanya.

Menurut Nove, baik secara budaya maupun agama, Indonesia masih belum bisa menerima pernikahan sejenis. Apalagi, masih ada “kelompok-kelompok radikal berbasis budaya dan agama” yang pasti akan menentang pelegalan pernikahan sejenis.

Karena itu, Nove sendiri pun menyatakan tidak akan mendukung pelegalan pernikahan sejenis di Indonesia. Namun, dia berharap kelompok LGBT tidak kemudian dikucilkan apalagi dimusuhi masyarakat.

“Saling menghargai dan menghormati saja. Tidak semua LGBT membawa dampak negatif kepada masyarakat. Jangan sampai ada kekerasan yang ditujukan kepada kelompok LGBT,” tuturnya.

Namun, bagaimanapun Nove tidak ingin ada anak-anak atau orang lain yang kemudian berubah menjadi homoseksual. Karena itu, dia menilai peran orang tua sangat penting dalam menjaga anak-anaknya, baik dari tontonan di televisi maupun pergaulannya.

“Televisi saat ini sudah banyak menyiarkan tontonan yang secara tidak langsung menunjukkan homoseksualisme. Belum lagi pergaulan anak-anak. Orang tua harus bisa menjaga,” ujarnya.

Dia kemudian mencontohkan di keluarganya sendiri. Nove menuturkan keluarganya akhirnya bisa menerima kondisinya sebagai seorang lesbian, apalagi disebabkan faktor ketidakseimbangan kromosom dan hormon.

Meskipun suara dan fisik penampilannya lebih mirip laki-laki, Nove tetap mengaku sebagai seorang perempuan, meskipun kata hatinya ingin menjadi laki-laki. Karena itu, kepada keponakannya, dia tetap mengajarkan untuk memanggilnya tante.

“Keponakanku sempat kebingungan dan memanggil aku oom. Lalu aku ajari supaya memanggil aku tante. Bagaimana pun aku ini kan tantenya,” tuturnya.

Kepada kelompok LGBT dan pendukung-pendukungnya, Nove juga berpesan agar menyesuaikan diri dengan budaya yang dianut masyarakat Indonesia yang belum bisa menerima perilaku homoseksual.

Dia justru mendorong kelompok-kelompok LGBT untuk memberikan kontribusi kepada negara daripada terlalu berkutat untuk mendapatkan pengakuan, apalagi sampai berharap pernikahan sejenis dilegalkan.

“Kalau kita bisa memberikan kontribusi pada negara, pasti akan lebih dilihat. Percuma saja koar-koar. Kalau tetap ingin menikah, kita bisa pindah ke negara lain. Jangan ‘ngoyo’ minta diterima padahal kita tidak bisa berbaur,” katanya.

Artikel ini ditulis oleh: