Proyek Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung (Aktual/Ilst.Nlsn)

Jakarta, Aktual.com — Proyek kereta cepat Jakarta-Bandung dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah. Sebab proyek senilai USD5,5 miliar tersebut merupakan proyek investasi bisnis, namun oleh pemerintah dijadikan proyek strategis nasional.

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) membeberkan bagaimana keanehan proyek tersebut di Jakarta Rabu (10/2) kemarin.
Menurut Sekjen KPA Iwan Nurdin, keberadaan Peraturan Presiden (Perpres) No 107 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasara dan Sarana Kereta Cepat Jakarta – Bandung yang diperkuat dengan Perpres Nomor 3 Tahun 2016 tentang Proyek Strategis Nasional penuh kejanggalan.

“Bagaimana posisi proyek ini terhadap Undang-Undang Pengadaan Tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum?” ucapnya.

Proses pengadaan tanah dalam proyek kereta cepat Jakarta – Bandung disebutnya tidak sesuai dengan aturan yang diterapkan dalam UU Pengadaan Tanah. Sebab proyek yang peruntukkannya bagi kepentingan umum mempunyai ciri pokok, yakni berupa pengguna atau penerima manfaat proyek tersebut haruslah lintas segmen sosial.

Sementara kereta cepat sendiri adalah proyek segmentasinya masuk kategori untuk masyarakat kelas elit dan eksklusif. Ciri kedua sebuah proyek peruntukkannya bagi kepentingan umum adalah anggarannya dibiayai negara dan tidak dimaksudkan mengejar keuntungan.

“Ciri ini juga tidak ada dalam proyek kereta cepat, sangat manipulatif, pemerintah menempatkan proyek ini levelnya menjadi proyek strategis nasional,” jelas Iwan.

Dengan kata lain, lanjut dia, karena proyek diletakkan sebagai proyek strategis nasional membuat pengadaan tanah juga diletakkan sebagai pengadaan bagi kepentingan umum. Padahal semestinya berlaku pengadaan biasa atau pengadaan bisnis.

Diungkapkan Iwan bagaimana Pasal 13 UU Pengadaan Tanah. Dimana, pengadaan tanah untuk kepentingan umum teknisnya harus melalui empat tahapan. Masing-masing perencanaan, persiapan, pelaksanaan dan penyerahan hasil.

Kemudian di Pasal 15 ayat (1), disebutkan bahwa perencanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum disusun dalam bentuk dokumen perencanaan pengadaan tanah. Sampai disini, dokumen perencanaan paling tidak mencakup empat aspek.

Masing-masing menyangkut maksud dan tujuan rencana pembangunan, kesesuaian dengan rencana tata ruang wilayah dan rencana pembangunan nasional dan daerah, letak tanah dan terakhir menyangkut luas tanah yang dibutuhkan.

“Proyek kereta cepat ini ternyata (juga) tidak ada dalam perencanaan Pembangunan Nasional, sehingga tidak terdapat dalam rencana induk tata ruang dan belum dapat memperlihatkan rencana kebutuhan dalam pengadaan tanah,” kata Iwan.

“Bagaimana mungkin sebuah proyek yang tidak memiliki dasar seperti ini kemudian oleh Presiden Jokowi dinyatakan akan dimulai pelaksanaannya,” sambungnya.

Artikel ini ditulis oleh: