Jakarta, Aktual.com – Menteri Ketenagakerjaan RI Hanif Dakhiri pada 17 Oktober 2016, menyurati seluruh Gubernur perihal Penyampaian Data Tingkat Inflasi Nasional dan Pertumbuhan Produk Domestik Bruto Tahun 2016.

Dalam surat itu, Menaker meminta seluruh Gubernur untuk menetapkan upah minimum dengan mengacu pada Pasal 44 ayat (1) PP No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, yaitu berdasarkan laju inflasi nasional dan pertumbuhan ekonomi nasional.

Adapun laju kedua indikator ekonomi itu berdasarkan Surat Kepala Badan Pusat Statistik Nomor BB-245/BPS/1000/10/2016 tertanggal 10 Oktober 2016, yaitu inflasi nasional 3,07 persen dan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,18 persen.

“Sehingga, kenaikan upah minimum pada tahun 2017 nanti sebesar 3,07 persen ditambah 5,18 persen yaitu sebesar 8,25 persen. Persentase kenaikan upah minimum ini akan sama nilainya untuk seluruh provinsi dan kabupaten/kota,” ujar Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), Timboel Siregar, di Jakarta, Rabu (19/10).

Padahal, kata dia, seharusnya surat Menaker itu ditujukan kepada Walikota/Bupati seluruh Indonesia untuk merekomendasikan kenaikan upah minimum kepada Gubernur berdasarkan data dari BPS.

“Tapi yang terjadi adalah surat itu langsung ditujukkan kepada Gubernur. Oleh karenanya surat Menaker ini sudah melanggar Pasal 89 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003,” jelas dia.

Selain itu, gubernur harus memperhatikan juga inflasi dan pertumbuhan ekonomi daerahnya. Karena Gubernur mempunyai kewenangan sesuai Pasal 89 ayat (3) UU No. 13 Tahun 2003 untuk menetapkan kenaikan upah minimum.

“Maka menurut saya, Diskresi Gubernur untuk menaikan 2–4 persen adalah masih dalam batas wajar. Sehingga kenaikan upah minimum tahun 2017 mestinya berkisar antara 10,25-12.25 persen,” jelasnya.

Kenaikan dengan persentase tersebut, ujar Timboel, paling tidak bisa menahan laju penurunan daya beli pekerja/buruh untuk tahun 2017 nanti.

Sementara terkait dengan nilai inflasi nasional sebesar 3,07 persen, dia berpendapat angka tersebut belum mencerminkan realita di lapangan.

“Inflasi secara nasional tersebut merupakan hitungan dari sejumlah barang dan jasa, sedang perhitungan KHL yang diamanatkan Pasal 43 ayat (1) PP No. 78 Tahun 2015 untuk menetapkan kenaikan upah minimum berdasar 60 item,” ungkap dia.

Hal tersebut berarti ada pembiasan dalam perhitungan inflasi. Harusnya perhitungan inflasi fokus pada 60 item KHL. Sebagai contoh, inflasi Nopember 2015 sebesar 0,21 persen tetapi bila diurai lebih lanjut Kelompok Bahan Makanan mengalami inflasi 0.33 persen.

Juga di Desember 2015, tercatat inflasi sebesar 0,96 persen tetapi Kelompok Bahan Makanan mengalami inflasi sebesar 3,20 persen. Di Januari 2016 tercatat inflasi sebesar 0,51 persen, tetapi inflasi di Kelompok Bahan Makanan sebesar 2,20 persen.

“Jadi pemerintah harus bijak melihat kondisi riil pekerja/buruh dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemerintah wajib menjaga daya beli pekerja/buruh untuk bisa hidup layak,” pungkas Timboel.

 

*Busthomi

Artikel ini ditulis oleh: