Jakarta, Aktual.com – Pengamat ekonomi yang juga mantan Menteri Keuangan era Presiden Suslio Bambang Yudhoyono (SBY), Chatib Basri mengkritik kebijakan pemerintah di sektor perpajakan.

Menurut Chatib, dirinya menyayangkan penerimaan perpajakan yang rendah, kendati program pengampunan pajak (tax amnesty) terbilang berhasil.

“Tentu semua sangat senang dan berbahagia kalau program tax amnesty kita berhasil. Tapi kita harus hati-hati, karena Sri Mulyani Indrawati (Menkeu) bilang, tax amnesty sukses malah penerimaan pajak tetap jeblok,” cetus Chatib di Jakarta, Rabu (16/11).

Dia menegaskan, penerimaan pajak tanpa program tax amnesty hanya mencapai Rp772 triliun. “Tapi kenapa sekarang tiba-tiba tax amnesty naik, tapi tax konvesional malah stagnan? Berarti memang ada yang salah,” ujar dia.

Alasan penerimaan pajak rendah, karena di era tax amnesty periode pertama ada tarif ganda (dual tariff) yang sangat berbeda. Yang satu tarif pajaknya normal yaitu sebesar 25% dan satu lagi uang tebusan sebesar 2%.

“Sehinga para wajib pajak (WP) itu lebih memilih 2%, maka pemerintah kehilangan revenue yang 25%,” tandasnya.

Kondisi itu semakin diperparah dengan adanya perlambatan ekonomi, dimana ekspor stagnan, konsumsi pihak swasta melemah dan flat, investasi juga rendah, ditambah konsumsi pemerintah tak kuat. Sehingga tak banyak ruang untuk stimulus fiskal.

Untuk menggenjot pertumbuhan, kata dia, harus melalui penguatan Sumber Daya Manusia (SDM), infrastruktur, dan deregulasi ekonomi. Cuma terkait deregulasi kebijakan atau paket kebijakan ekonomi yang banyak diterbitkan I-XIV itu, tapi masih minim dampaknya.

“Apa yang salah, so many policies, memang tracknya sudah betul. Kok dampaknya belum ada? di sini kita lihat ada gap yang besar. Karena paket kebijakan itu dalam jangka panjang. Kalau tak dibenahi, pertumbuhan 5%-5,3% sulit dicapai ke depannya,” terang dia.

Lebih jauh Chatib menegaskan, saat ini kebijakan yang penting dan diharapkan bisa mendorong pertumbuhan ekonomi adalah suku bunga harus diturunkan dan menggenjot investasi.

“Makanya, (kebijakan) jangka pendek itu dibutuhkan supaya perusahaan mau pinjam kredit dari bank. Jadi suku bunga diturunkan dan buat program cash forward,” ujar Chatib.

(Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Arbie Marwan