Empat Modernisasi Deng Xiaoping (Aktual/Ilst.Nelson)
Oleh: Hendrajit
Hendrajit

Jakarta, Aktual.com — Dalam upaya untuk membuat Undang-Undang Kebudayaan yang berbasis Trisakti, berkepribadian dalam budaya, salah besar jika Indonesia merujuk pada Perancis yang membatasi proses dan produk kebudayaan di bidang seni-budaya. Misteri dan rahasia keberhasilan Tiongkok menyusul keberhasilan 4 Program Modernisasi Deng Xioping yang dicanangkan pada 1979, justru lebih inspiratif sebagai rujukan membangkitkan kembali budaya nusantara yang selaras dengan tantangan modernisasi dan globalisasi.

Pada 8 Oktober lalu, Heri Achmadi sempat membuat pengantar diskusi di depan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan(PDIP) bertajuk Kebudayaan, Kebijakan Kebudayaan dan UU Kebudayaan. Ada beberapa simpul pemikiran yang cukup menarik, namun penekanannya yang membatasi lingkup kebudayaan pada bidang seni-budaya dengan merujuk pada Perancis, saya kira bukanlah sebuah rujukan yang tepat untuk membangkitkan kembali kesadaran budaya bangsa sesuai amanat Trisakti. Kisah sukses Tiongkok mungkin bisa jadi rujukan yang jauh lebih tepat sebagai inspirasi bagi para insan budaya bangsa kita, dalam menyusun strategi kebudayaan atas dasar UU kebudayaan baru yang diharapkan bisa selesai pada 2015 ini.

Namun sebelumnya, ada baiknya kita pahami dulu alur berpikir Heri Achmadi melalui pokok-pokok pikiran yang terangkum dalam kertas kerjanya tersebut.

Undang-Undang Sebatas Mengatur Kegiatan Seni-Budaya?

Draf Rancangan Undang-Undang Kebudayaan masuk Prolegnas dan mulai dibahas di DPR pada periode 2004-2009. Namun baru pada 2014 RUU Kebudayaan atas inisiatif DPR disampaikan kepada Presiden. Namun karena masa tugas pemerintahan Presiden SBY sudah jelang berakhir, RUU Kebudayaan tidak sempat diselesaikan. Padahal perumusan RUU sudah dapat diselesaikan meskipun melalui suatu proses yang memakan waktu cukup lama. Dalam Prolegnas 2015-2019, RUU Kebudayaan masuk lagi dan kini menunggu dibawa ke rapat Paripurna DPR untuk disahkan sebagai RUU inisiatif DPR.

Kebudayaan memiliki lingkup kegiatan (proses) dan hasil karya (produk) yang sangat luas. Karena itu perlu pengaturan dan tatacara pelaksanaannya yang dipat dijalankan. Karena itu, perlu ditetapkan secara jelas dulu lingkup obyek, tujuan, proses dan produk kebudayaan yang akan diatur.

Kebudayaan harus dipandang sebagai karakter dari suatu kelompok masyarakat yang meliputi bahasa/sastra, agama, kebiasaan sosial, musik, kuliner, seni (rupa, tari, film, dan lain-lain).

Dengan begitu, kebudayaan dapat diartikan sebagai himpunan kumulatif semua pengetahuan, pengalaman, kepercayaan nilai, sikap, arti, hirarki, ingatan waktu, peran, hubungan spesial, konsep semesta serta obyek kebendaan dan pemilikan dari suatu kelompok masyarakat melewati generasi demi generasi.

Selain itu, kebudayaan bisa juga dimaknai sebagai perilaku yang tertanam, totalitas dari yang dipahami seseorang, akumulasi pengalaman yang dikomunikasikan secara sosial, atau perilaku melalui pembelajaran sosial. Kebudayaan juga mencakup gaya hidup suatu masyarakat, perilaku, kepercayaan, nilai dan simbol, yang diterima tanpa dipikirkan lagi, serta diwariskan melalui komunikasi dan imitasi dari generasi ke generasi.

Menyadari begitu luasnya pengertian kebudayaan yang diterima luas oleh masyarakat, maka tak mungkin diatur secara umum melalui undang-undang. Sehingga yang bisa diatur secara umum melalui UU hanya terkait seni dan budaya saja.

Adanya UU lain di luar UU Kebudayaan seperti Undang-Undang Perfilman dan Undang-Undang Cagar Budaya, maka lingkup yang mungkin diatur secara umum melalui UU adalah perlindungan serta fasilitasi proses dan produk seni-budaya.

Jabarannya Dalam Kebijakan Kebudayaan Pemerintah

Dalam jabarannya yang lebih nyata melalui kebijakan kebudayaan pemerintah, kebijakan tersebut untuk mengatur kegiatan yang terkait seni dan budaya. Yang meliputi proses perlindungan, klasifikasi hukum, pelembagaan, dan lain-lain; untuk memajukan kebhinekaan dan keterjangkauan kebudayaan seraya untuk meningkatkan dan menyebarkan ekspresi atau ungkapan artistik, etnis, sosio-bahasa, sastra dan lain sebagainya.

Sekadar perbandingan, Perancis bisa menjadi sebuah inspirasi. Selain membentuk Kementerian Kebudayaan dan Komunikasi pada 1959, Andre Malraux, seorang budayawan Perancis yang juga menteri kebudayaan Perancis pertama merumuskan tupoksi kementerian kebudayaan sebagai berikut: “Bertanggungjawab menyediakan modal karya cipta kemanusiaan, dan dimulai dari Perancis, untuk sebanyak-banyaknya rakyat Perancis, untuk menjamin akses bagi sebanyak-banyaknya rakyat Perancis, untuk menjamin akses bagi sebanyak-banyaknya pecinta warisan budaya, dan mendukung penciptaan semangat dan karya seni yang memperkayanya.”

Jadi, tujuan utama adanya Kementerian Kebudayaan adalah untuk memajukan karya cipta dalam semua disiplin, memperluas partisipasi masyarakat dalam kegiatan kebudayaan, terutama sastra, teater, musik dan cagar budaya.

Juga, membangun kantor-kantor dan pusat-pusat kebudayaan di berbagai daerah. Menetapkan prosedur pembuatan kontrak kemitraan antara pemerintah dan lembaga kebudayaan (televisi, industri film, grup teater, dan lain-lain).

Lagi-lagi dengan mengambil Perancis sebagai ilustrasi, di negeri yang sohor dengan menara Eifel-nya itu, memiliki Undang-Undang Pembiayaan Museum, Undang-Undang Bahasa, dan lain-lain. Juga peraturan yang mewajibkan pembangunan sekolah, gedung dan kegiatan seni-budaya.

Pada abad ke-21 sekarang ini, kebijakan kebudayaan Perancis menaruh prioritas pada pengembangan:
1. Keanekaragaman budaya.
2. Kesetaraan akses melalui pendidikan seni dan budaya.
3. Desentralisasi kebijakan kebudayaan.
4. Perlindungan kekayaan intelektual dan artistik dalam konteks globalisasi/digital.

Tak heran jika dalam bidang penyiaran misalnya, tujuan peraturan pemerintan adalah meningkatkan kualitas produksi komunikasi audio-visual bekerjasama dengan rumah-rumah produksi.

Semakin Makmur dan Sejahtera Tiongkok, Semakin Terhubung dengan Kejayaan Peradaban Masa Silamnya

Gagasan kebudayaan yang dirumuskan oleh Heri Achmadi dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) tersebut memang cukup menarik, namun fokus pandangan yang terlalu bertumpu pada Perancis sebagai role model, sebagaimana terumuskan dalam pengantar diskusi berjudul: Kebudayaan, Kebijakan Kebudayaan dan UU Kebudayaan, rasa-rasanya terlalu membatasi lingkup pengaturan kebudayaan melalui UU dalam bidang seni-budaya.

Untuk itu, Republik Rakyat Tiongkok mungkin bisa menjadi acuan perbandingan. Sejak Deng Xioping meluncurkan 4 Program Modernisasi (bidang pertanian, industri, sains dan teknologi,serta militer/pertahanan), banyak kalangan pakar dunia barat dan negara-negara maju beranggapan Deng Xioping melalui 4 Program Modernisasi-nya menitikberatkan kebijakan strategisnya pada bidang ekonomi. Lebih salah lagi, ketika banyak kalangan pakar di barat dan negara-negara maju memandang Deng Xioping menerapkan kebijakan pasar bebas atau free market. Karena jika kita cermati secara teliti, 4 Program Modernisasi sama sekali tidak menyebut-nyebut frase ekonomi.

Jika kita telisik dengan memahami pola pikir Deng Xioping maupun para pimpinan Tiongkok pada umumnya, 4 Program Modernisasi pada hakekatnya merupakan suatu Kebijakan Kebudayaan. Karena di dalam sektor yang jadi prioritas untuk diberdayakan seperti bidang pertanian, industri, ilmu dan teknologi maupun militer, tentunya bukan sekadar meningkatkan ketrampilan dan kecakapan teknisnya. Namun menyatu dengan kesadaran dan penghayatan kebudayaan Tiongkok pada umumnya.

Sehingga tak heran ketika Tiongkok mencapai kemajuan dan kebangkitan di sektor perekonomian sebagai buah dari 4 Program Modernisasi yang dicanangkan oleh Deng Xioping yang mana kebijakan tersebut berkesinambungan hingga kini, kesadaran budaya dan kepekaan warga Tiongkok terhadap peradaban leluhurnya berabad-abad yang silam, justru hidup kembali.

Berbeda dengan Indonesia, ketika kemajuan ekonomi dan kesejahteraan materialnya semakin meningkat dan maju, justru semakin mengabaikan budaya asli dan leluhurnya yang mewarnai peradaban nusantara sejak era Sriwijaya dan Majapahit.

Fokus RUU Kebudayaan yang hanya membatasi pada lingkup seni-budaya, dikhawatirkan hanya akan menumbuhkan romantisme masa lalu dan sekadar memuja superioritas kedaerahannya masing-masing, namun tidak membangun persenyawaan budaya lokal nusantara dengan upaya menghadapi tantangan modernisasi dan globalisasi yang berkembang dewasa ini.

Seperti studi yang dilakukan Kishore Mahbubani dalam bukunya “The New Asian Hemisphere, The Irresistible Shift of Global Power to The East”, mencatat sebuah fenomena menarik di Tiongkok menyusul keberhasilan pembangunan ekonominya. Menurut amatan Mahbubani, dengan kinerja ekonominya yang amat mengesankan dan meningkatnya kemakmuran, Tiongkok sekarang mengalami sensasi yang sama seperti yang dialami Barat dalam renaissance-nya: Terhubung kembali dengan warisan kekayaan masa silam dan terbukanya perspektif-perspektif kultural yang baru.

Buktinya, museum-museum dan galeri-galeri sedang dibuka di Tiongkok dalam jumlah yang mencengangkan. Dengan mengutip sebuah artikel di Independent, ada 100 museum baru dibuka sebeum Olimpiade 2008 lalu. Dan untuk mengenang jasa-jasa Ketua Mao dalam rencana Pembangunan Lima Tahunnya, pejabat yang berwenang telah mengumumkan 1000 museum baru akan dibuka pada 2015 ini. Sehingga setiap kota penting di Tiongkok akan mempunyai sebuah museum modern.

Juga menjelang Olimpiade 2008, Tiongkok mencanangkan pembangunan 118 museum Bahkan Shanghai dalam waktu 4 tahun setelah berlangsungnya Olimpiade 2008, berarti pada 2012, membuka 100 museum baru.

Di sinilah misteri dari kemajuan Tiongkok saat ini. Semakin makmur dan sejahtera secara ekonomi, justru semakin terhubung dengan masa silam dan kejayaan peradaban Tiongok.
Semakin maju perekonomian Tiongkok, justru semakin menguat de-westernisasi di negeri tirai bambu tersebut. Berarti, dicanangkannya Empat Program Modernisasi oleh Deng Xioping pada 1979 sejatinya bukan didasari untuk melancarkan strategi pembangunan ekonomi semata, melainkan merupakan penjabaran strategis dari Strategi Kebudayaan Tiongkok. Atau yang dalam istilah Pemerintahan Suharto di era Orde Baru, untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya.

Maka tak heran jika output atau buah dari keberhasilan dicanangkannya 4 Program Modernisasi (Pertanian, Industri, Ilmu Pengetahuan-Teknologi, dan Pertahanan/Militer), sejatinya merupakan program pembangunan kebudayaan yang fokus pada 4 sektor tersebut di atas.

Sehingga keberhasilan Tiongkok di sektor pertanian, industri, IPTEK dan Militer, pada perkembangannya merupakan keberhasilan kebudayaan Tiongkok, bukan sekadar keberhasilan sektoral di masing-masing bidang tersebut.

Alhasil, semakin makmur dan maju Tiongkok sebagai buah dari keberhasilan pelaksanaan 4 Program Modernisasi, bukannya semakin hilang identitas ke-Tiongkokannya, justru malah semakin bangkit rasa kebersamaan dan kesadaran identitasnya budayanya sebagai orang Tiongkok.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Hendrajit