Berharap dengan PTSL
Sejak tahun 2018 lalu, pemerintah memperkenalkan program pendaftaran tanah sistematis lengkap (PTSL) sebagai jalan untuk melakukan sertifikasi tanah di seluruh Indonesia. Program PTSL yang diatur dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2018 ini tidak berbiaya dan memang ditujukan untuk semua objek tanah yang belum terdaftar dalam suatu wilayah. Selanjutnya pemerintah pun menjamin kepastian dan perlindungan hukum pada hak atas tanah yang dimiliki masyarakat.
Secara konseptual, KPA menegaskan dukungannya kepada program PTSL. Pasalnya pendaftaran tanah serentak secara nasional melalui PTSL memang merupakan mandat dari UU Pokok Agraria. Tujuannya tak lain dan tak bukan adalah untuk mengetahui dominasi kepemilikan tanah di Indonesia.
“Tujuan pendaftaran tanah ini untuk mengetahui konsentrasi penguasaan tanah di Indonesia. Apakah di suatu wilayah, ada ketimpangan kepemilikan tanah atau lebih luas lagi terkait penguasaan lahannya. Setelah itu barulah pemerintah melakukan distribusi dan penataan tanah,” ujarnya.
Apalagi bagi Benni, program PTSL memudahkan proses sertifikasi tanah. Masyarakat hanya cukup membayar uang sebesar Rp 150 ribu dan memenuhi sejumlah persyaratan yang lain untuk mengikuti program tersebut di kantor BPN setempat. Proses ini, ungkap Benni, jauh lebih mudah, murah dan tidak berbelit-belit.
Benni pun percaya bahwa PTSL ini bisa meminimalisir terjadinya kemunculan sindikat mafia tanah. Sebab dengan terdaftar dan terdatanya kepemilikan lahan tanah, maka tidak akan ada lagi status tanah yang tergantung yang dimanfaatkan mafia tanah untuk menyasar korban.
“Jadi status tanah yang gantung ini dimanfaatkan oknum-oknum tertentu. Yang jadi korban di sini siapa? Yah tentu dua belah pihak, bisa jadi masyarakat atau perusahaan bisa jadi korban.
Tanah yang tidak didaftarkan secara nasional itu melahirkan praktek mafia tanah,” tuturnya.
Namun demikian, Junimart Girsang tetap meminta publik dan Kementerian ATR/BPN untuk ikut mewaspadai jenis mafia dalam program PTSL, di samping mafia tanah umum yang memang kerap menimbulkan sengketa lahan. Mafia PTSL tersebut, ungkapnya, merujuk pada oknum-oknum ilegal yang kerap meminta uang, baik secara terbuka maupun tidak, dalam pengurusan surat-surat pertanahan.
Junimart pun menceriterakan dalam proses PTSL biasanya masyarakat akan melibatkan notaris maupun PPAT. Dalam tahapan inilah kerap terjadi celah bagi para mafia PTSL.
“Jadi, kalau Menteri ini selalu berbicara tentang mafia pertanahan, tidak cukup (hanya mafia tanah). Belum kami ungkap mengenai mafia PTSL. Ini istilah baru, mafia PTSL. Belum ada lagi istilah mafia para tinggi pertanahan di daerah itu yang ‘mengutip’ dari para Notaris dan PPAT,” ujarnya di Ruang Rapat Kerja Komisi II.
Hampir senada, KPA pun tetap mengkritisi program PTSL yang dinilai hanya membuat legalitas kepemilikan atau penguasaan tanah. Program ini, menurut KPA, tidak akan mampu merombak struktur kepemilikan tanah lantaran tidak fokus untuk mendorong distribusi kepemilikan tanah yang lebih adil.
“Seharusnya sertifikasi itu proses administrasi terakhir. Jadi kalau di reforma agraria, itu ada pendaftaran tanah dulu. Jadi terdata nih, Si A punya tanah di mana aja. Misalnya ada yang punya tanah sedikit, tapi dia petani, nanti ditambahin tanahnya. Kemudian ditata baru tuh disertifikatkan. Nah kalau sekarang ini cuma sekedar pemberian sertifikat,” ujarnya.
KPA pun tetap mendesak pemerintah untuk menyelesaikan program PTSL dengan spirit reformasi agraria. KPA menuntut pemerintah mendistribusikan kepemilikan tanah secara adil kepada petani dan golongan masyarakat kecil.
“Terlepas dari cukup atau tidak, kalau spirit reformasi agraria itu menata dan mendistribusikan kepemilikan tanah. Misalnya ada yang punya tanah 100 meter, gak logis dong kalau luas tanah ini bisa menghidupi kehidupannya. Maka pemerintah itu harusnya menambahkan tanahnya. Kan sudah ada keharusan, di pulau Jawa petani punya minimal 2 hektar dan di luar pulau Jawa minimal 5 hektar,” tutur dia. (Tim Redaksi)