Jakarta, Aktual.com – Wacana pemberian gelar pahlawan bagi Presiden Ke-2 Republik Indonesia Soeharto dinilai melukai rasa keadilan rakyat Indonesia.
Demikian disampaikan Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Abidin Fikri. Bahkan menurutnya belum tuntasnya kasus hukum terkait dugaan korupsi sejumlah yayasan pada era Orde Baru juga menjadi faktor.
Untuk dirinya Kementerian Sosial untuk mengkaji secara mendalam usulan pemberian gelar tersebut.
“Kasus dugaan korupsi tujuh yayasan yang melibatkan Soeharto, sebagaimana ditetapkan pada tahun 2000, hingga kini belum menemui penyelesaian hukum yang jelas,” kata Abidin dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Selasa (6/5).
Dikatakan Abidin bahwa dengan memberikan gelar pahlawan nasional di tengah adanya fakta itu bukan hanya bertentangan dengan prinsip keadilan. “Itu juga dapat mengikis kepercayaan publik terhadap integritas proses penganugerahan gelar,” paparnya.
Lebih lanjut Ia mengatakan pemberian gelar pahlawan nasional harus memenuhi kriteria sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, termasuk memiliki rekam jejak yang bersih dari tindakan melawan hukum.
Tak hanya soal korupsi, Abidin juga mengatakan masa kepemimpinan Soeharto juga diwarnai dengan dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) serta praktik kolusi dan nepotisme. Masalah-masalah tersebut dinilai masih menyisakan luka bagi banyak korban dan keluarganya.
“Mengabaikan fakta sejarah dan ketidaktuntasan kasus hukum Soeharto akan mencederai semangat antikorupsi dan keadilan sosial yang sedang kita perjuangkan bersama,” ungkapnya.
Oleh karena itu, Abidin meminta usulan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto agar dikaji ulang secara mendalam karena rakyat Indonesia mengharapkan pahlawan nasional adalah figur yang menjadi teladan moral dan integritas.
Di sisi lain, ia juga mengapresiasi aspirasi masyarakat, termasuk dari berbagai elemen sipil yang menyerukan agar usulan pemberian gelar pahlawan nasional untuk Soeharto ditinjau ulang.
Ia mendesak Dewan Gelar dan pemerintah untuk mendengarkan suara rakyat serta mempertimbangkan dampak sosial dan historis dari keputusan ini.
Artikel ini ditulis oleh:
Andy Abdul Hamid