Sejumlah Haul Truck dioperasikan di area tambang terbuka PT Freeport Indonesia di Timika, Papua, Sabtu (19/9). PT Freeport Indonesia kini mendapat izin ekspor untuk Juli 2015 - Januari 2016 dengan kuota ekspor mencapai 775.000 ton konsentrat tembaga. Selain itu Freeport mendapat pengurangan bea keluar menjadi lima persen lantaran kemajuan pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral (smelter) di Gresik, Jawa Timur, yang sudah mencapai 11 persen. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/kye/15

Jakarta, Aktual.com — Koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB) Adhie Massardi mengingatkan agar penyelesaian dugaan pelanggaran etik di Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) tidak mengaburkan kepentingan Freeport di Indonesia. Yakni bagaimana keberadaan sumber kekayaan alam itu ke depan bisa mensejahterakan rakyat Indonesia.

“Kasus yang (diduga) melibatkan Setya Novanto jangan mengaburkan masalah sesungguhnya yang jauh lebih besar, yakni soal pertambangan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia,” terang Adhie dalam keterangan tertulisnya yang diterima Rabu (9/12).

Ia menyinggung pernyataan Menko Maritim dan Sumber Daya, Rizal Ramli. Dimana laporan Menteri ESDM Sudirman Said ke MKD hanya sebuah sinetron dan atau perang antar geng yang berebut saham. Permasalahan sesungguhnya adalah kenyataan bahwa Freeport seharusnya membayar royalti lebih tinggi 6 hingga 7 persen.

Selama ini, karena hengki-pengki perusahaan asal Amerika Serikat itu haanya membayar royalti 1 persen kepada Indonesia. Padahal, UU Minerba mengatur rezim sekarang bukan lagi kontrak karya melainkan izin pertambangan.

“Jangan ada upaya lagi dari pihak manapun untuk melakukan perpanjangan kontrak karya, apalagi meminta saham, karena hal itu melawan hukum,” jelas Adhie.

Sesuai UU Minerba pula, lanjut dia, pemerintah Indonesia sebenarnya bisa mengatur persyaratan akan keberadaan Freeport di Indonesia. Meski karena sejarahnya, Freeport juga berhak mendapatkan tawaran mengelola tambang di Papua. Namun kewajiban harus tetap dilaksanakan sebagaimana dipersyaratkan.

Diantaranya pembaruan pembagian royalti, pembangunan smelter, divestasi, pembangunan Papua, termasuk memperbaiki pengelolaan limbah. Apabila tidak memenuhi syarat dimaksud, maka Freeport bisa digugurkan.

Lalu, lanjut dia, pemerintah berkewajiban mengganti kerugian yang ditimbulkan. Sementara Freeport berkewajiban mengganti kerusakan lingkungan melalui hasil audit forensik tim independen.

“Dengan demikian, terbuka kemungkinan tambang emas di Timika dikelola BUMN, BUMD, swasta nasional atau gabungan dari ketiga elemen tersebut, ucap Adhie.

Artikel ini ditulis oleh: