Jakarta, Aktual.com — Gerakan Masyarakat Pemantau Pemilu Indonesia (GMPPI) meminta Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), khususnya Direktorat Jenderal Otonomi Daerah, tidak melantik calon kepala daerah terpilih pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2015 yang terbukti melakukan pelanggaran hukum.

Jika calon kepala daerah terbukti masalah hukum dilantik, mereka khawatir akan menjadi preseden buruk bagi penyelenggaraan Pilkada Serentak tahap kedua yang akan diselenggarakan di tahun 2016 ini.
“Kalau proses kecurangan ini terus-menerus dibiarkan dan Mahkamah Konstitusi berubah menjadi mahkamah kalkulator maka akan menjadi contoh yang buruk untuk pilkada selanjutnya. Kami menyatakan sikap agar Dirjen Otda Kemendagri tidak melantik Gubernur, Bupati, dan Walikota yang terlibat dalam kasus hukum,” terang Koordinator GMPPI, Saiful Lonthor, dalam keterangan tertulisnya, Rabu (3/2).
Diungkapkan dia, Pilkada Serentak 2015 merupakan awal dari tradisi baru kontestasi demokrasi di Indonesia. Tercatat ada 269 provinsi/kabupaten/kota yang menggelar Pilkada dengan total anggaran mencapai sekitar Rp6,7 triliun.
Pilkada Serentak ini konsekuensi hukum dari Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 14/PUU-XI/2013 yang mengamanatkan penyelenggaraan Pilpres dan Pileg 2019. Dimana putusan ini menjadi pemantik norma baru yang diejawantahkan melalui UU No 1 Tahun 2015 tentang Penetapan PP 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015.
Akan tetapi, dalam pelaksanaannya justru melahirkan pelanggaran pemilu secara terang-benderang. Dimana para kandidat melakukan segala macam cara agar masyarakat ikut berpartisipasi memilih kandidatnya walaupun dengan cara kerja yg sangat tidak mendidik. Seperti intimidasi, money politik hingga manipulasi suara.
MK kemudian menerima 147 sengketa hasil Pilkada. Namun MK melalui putusan selanya di pandang tidak menegakkan hukum secara substansi. MK dinilai telah berubah menjadi mahkamah kalkulator karena tidak memberikan keadilan terhadap setiap pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati, Gubernur dan Wakil Gubernur serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota yang mengajukan gugatan.
Mereka tidak mendapatkan keadilan karena MK mengacu Pasal 157 dan Pasal 158 yang menguraikan tentang batas waktu pendaftaran gugatan dan persentase angka perselisihan sebesar 2 persen. Hal ini menjadi bukti nyata bahwa MK tidak lagi melihat kecurangan hasil pemilu.
Padahal dengan jelas sesuai data data pelanggaran pemilu yang di jadikan sebagai dalil gugatan menggambarkan pelanggaran hukum yang benar benar terjadi.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Arbie Marwan