Pengamat Politik sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago menilai koalisi yang dibangun Prabowo Subianto dengan partai politik lainnya harus melakukan perhitungan yang sangat cermat dan tepat dalam menghadapi Pilpres 2019 mendatang, agar tidak kalah.

Yakni, sambung dia, menyiapkan lawan tanding yang sebanding dengan poros Jokowi sebagai “juara bertahan”, bahkan dalam berbagai kalkulasi dan jajak pendapat lembaga survei sampai saat ini masih unggul.

“Maka dari itu, kapasitas, popularitas, akseptabilitas (penerimaan publik) terhadap kandidat menjadi pertimbangan yang sangat penting, membaca trend apa yang sedang disukai dan diinginkan publik serta mampu membaca sentimen publik, dan menerjemahkannya ke dalam keputusan politik strategis yang populis sehingga mendapat dukungan yang luas dari masyarakat,” kata Pangi dalam keterangan tertulisnya yang diterima aktual.com, Minggu (5/8).

Dikatakan dia, sentimen publik dan tren politik yang sedang melanda negara-negara muslim di seluruh dunia-termasuk Indonesia- hari ini dengan menguatnya semangat (ghirah) gelombang “Populisme Islam”, sebagai varian dari populisme politik yang juga berkembang di negara-negara barat dan juga telah sampai berkembang di Indonesia.

“Populisme Islam telah merambah ke dalam dinamika politik nasional dan telah mengkristal menjadi sebuah kekuatan politik baru yang telah menemukan momentumnya dalam pilkada DKI Jakarta pada tahun 2017 lalu,” sebut dia.

Pria yang akrab disapa Ipang ini melanjutkan, populisme Islam yang menjelma menjadi salah satu kekuatan politik, kini juga ikut memainkan peranan yang cukup strategis dalam rangka menggalang kekuatan dan dukungan atau tidak terhadap poros koalisi yang sudah terbentuk, Ijtima Ulama, GNPF 212 sebagai aksi nyata dari gerakan itu.

Oleh karena itu, rekomendasi yang dikeluarkan oleh gerakan dari populisme Islam itu harus menjadi pertimbangan penting, menjadikan sebagai daya tawar dan lobi (bergaining position) politik di kubu Prabowo yang semakin dinamis di tengah semakin bertambahnya partai yang bergabung dalam koalisi.

Seperti diketahui, paket mana yang dikeluarkan sebagai hasil rekomendasi dari Ijtima’ ulama GNPF yakni Salim Segaf Al-Jufri dan Ustad Abdul Somad (UAS) adalah dua nama yang punya basis massa dan dukungan kuat di akar rumput.

Contohnya, Salim Segaf Al-Jufri adalah ketua majelis syuro PKS, mantan menteri Sosial era SBY dan juga pernah menjadi duta besar RI untuk Arab Saudi dan Oman.

Tidak hanya itu, beliau juga merupakan keturunan Ulama besar Palu, Sayyid Idrus bin Salim Al-Jufri atau lebih dikenal dengan nama “Guru Tua ” pendiri yayasan Al-Khairaat. Beliau juga masih punya garis hubungan sangat dekat dengan Habaib dan juga dekat dengan kiyai NU, dan tokoh Muhammadiyah, cenderung lebih moderat dan mampu berkomunikasi dengan semua kelompok dan kekuatan Islam mana pun.

“Karenanya, penerimaan (akseptabel) terhadap sosok ini cukup luas sehingga upaya menyatukan kekuatan Islam yang menjadi agenda politik dikalangan umat Islam akan menemukan momentum yang tepat dan kian nyata,” paparnya.

Di sisi lain, masih dikatakan Ipang, Salim Segaf Al-Jufri juga sudah berpengalaman dalam urusan pemerintahan (punya jam terbang) dengan posisi strategis sebagai menteri sosial dan duta besar. Tentu saja menjadi modal yang sangat berharga untuk menjadi wakil presiden jika nanti beliau berjodoh dipasangkan dengan sosok Prabowo Subianto.

“Rekomendasi dari ulama yang tergabung dalam GNPF ini menjadi pertimbangan yang sangat penting bagi Prabowo, jika ingin memenangkan pilpres 2019 dengan dukungan kuat dari kalangan Islam dibandingkan dengan mengambil nama lain dari kalangan nasionalis seperti Agus Harimurti Yudhoyono (AHY),” ujar Ipang.

“Bagaimana pun juga nama AHY masih sulit representasi (afialiasi) mengambil suara ulama. Representasi ulama faktor determinan menentukan yang ngak bisa dipandang remeh dalam kemenangan, disaat menguatnya sintemen popolisme Islam. Maka, Prabowo-AHY kombinasi yang kurang menjual dan kurang tepat, karena sama-sama militer, sama-sama nasionalis, ceruk segmen Prabowo-AHY juga sama irisannya.”

Sehingga bisa bayangkan dan mudah memprediksi (forecast) simulasi pertarungan peta lama misalnya Prabowo-AHY berhadapan dengan Jokowi-Mahfud MD. Sebaliknya akan keras benturan pertarungan dan sulit diprediksi apabila Prabowo-Salim Segaf head to head dengan Jokowi-Ma’ruf Amin, tutup Ipang menarasikan simulasi peta politik kedepan.

Artikel ini ditulis oleh:

Novrizal Sikumbang