Ekonon Senior, Rizal Ramli saat diskusi dengan tema “Indonesia Perlu Pemimpin Optimis yang Bawa Perubahan” di gelar di Tebet, Jakarta Selatan, Senin ( 25/2/2019). Rizal mengungkapkan bahwa penurunan angka kemiskinan di era Jokowi – JK menunjukan paling rendah dari era kepemimpinan semua presiden sebelumnya sejak reformasi. AKTUAL/Tino Oktaviano

Jakarta, Aktual.com – Mantan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri (Menko Ekuin) Rizal Ramli mendatangi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jumat (19/7). Kedatangannya itu untuk memenuhi panggilan sebagai saksi dalam penyidikan kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Rizal akan bersaksi untuk tersangka pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim (SJN).

“Saya dipanggil KPK untuk kasus SKL (Surat Keterangan Lunas) BLBI dalam kasus SJN dan ITN (Itjih Nursalim). Saya sendiri pada saat kejadian kasus itu bukan pejabat lagi, karena itu terjadi pada tahun 2004 pada saat pemerintahan mbak Mega (Megawati Soekarnoputri),” kata Rizal saat tiba di gedung KPK.

Pemeriksaan Rizal pada hari ini merupakan penjadwalan ulang setelah tidak memenuhi panggilan lembaga antirasuah itu pada Kamis (11/7). “Saya dianggap banyak ngerti, tahu prosedur dari sejak awal BLBI. KPK minta saya memberikan penjelasan spesifiknya,” ucap Rizal.

Selain Rizal, KPK juga memanggil Sjamsul dan istrinya Itjih untuk diperiksa sebagai tersangka kasus BLBI tersebut. Sjamsul yang merupakan pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) bersama istrinya Itjih merupakan tersangka dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam proses pemenuhan kewajiban pemegang saham BDNI selaku obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).

KPK telah menetapkan keduanya sebagai tersangka pada 10 Juni 2019. Sjamsul dan Itjih diduga melakukan misrepresentasi terkait dengan piutang petani petambak sebesar Rp4,8 triliun. Sjamsul dan Itjih diduga melakukan misrepresentasi terkait dengan piutang petani petambak sebesar Rp4,8 triliun.

Misrepresentasi tersebut diduga telah mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp4,58 triliun. Pasalnya, saat dilakukan Financial Due Dilligence (FDD) dan Legal Due Dilligence (LDD) disimpulkan bahwa aset tersebut tergolong macet dan hanya memiliki hak tagih sebesar Rp220 miliar.

Atas perbuatan tersebut, Sjamsul dan Itjih disangka melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Artikel ini ditulis oleh: