Beranda Eksklusif Indepth Report Jalan Panjang Perjuangan Korban Perkosaan di Kemenkop Mencari Keadilan

Jalan Panjang Perjuangan Korban Perkosaan di Kemenkop Mencari Keadilan

Dewi Themis yang Menjadi Lambang Keadilan Hukum (Shutterstock)

Tak Ada Keadilan Untuk Korban

Kasat Reskrim Polresta Bogor, Kompol Dhoni Erwanto dalam keterangan kepada awak media, membenarkan Polresta Bogor pada 1 Januari 2020 telah melakukan proses penyidikan atas laporan tersebut dan telah menetapkan empat tersangka dan menahan keempatnya. Namun, pada 3 Maret 2020, korban atau pelapor membuat surat perjanjian bersama antara kedua belah pihak korban dan tersangka serta melampirkan surat permohonan pencabutan laporan polisi dengan melampirkan akta nikah korban dengan pelaku.

Namun, ketika ditanya tentang pencabutan laporan atau SP3, ayah korban membantah tak melakukannya. Ia bahkan baru tahu jika kasus tersebut telah di-SP3-kan.

Pendamping hukum korban dari LBH Apik Jawa Barat, Ratna Batara Munti menyebut penyidik tidak konsisten terhadap penanganan kasus pidana perkosaan yang dialami kliennya. Menurut Ratna, di satu sisi alat bukti telah terpenuhi dan atas dasar itu tersangka ditetapkan sebagai tersangka. Tetapi di sisi lain, perspektif penegak hukum tidak membela dan menegakkan keadilan untuk korban.

“Perkawinan antara pelaku dengan korban itu, merugikan korban. Penyidik seharusnya tidak mendorong dan memfasilitasi. Dan sekarang, dengan adanya UU TPKS, perbuatan tersebut sudah masuk dalam salah satu bentuk TPKS, yakni pemaksaan perkawinan,” ujar Ratna.

Ratna menyebut proses penyelesaian kasus yang dialami kliennya sudah salah sejak awal.

Saat melakukan gelar perkara kasus rape Kemenkop, Senin (7/11) pekan lalu di Polresta Bogor, Ratna kaget dengan tanggapan penyidik polres dan jajaran polda. Pertama,  kepolisian menganggap pasal 286 yang disangkakan untuk kasus ini adalah delik aduan. Delik biasa hanya persetubuhan terhadap anak.

Kedua, perspektif Penyidik yang diwakili Bripka Frida Kanit PPA 2019-2020 menganggap korban sudah dewasa, sehingga asumsinya perbuatan dilandasi atas dasar suka sama suka. Temuan aneh lainnya adalah respon polda Jabar yang menyatakan bahwa, jika dalam tahap penyidikan ada pencabutan laporan, maka dalam tahap SP2HP disebut tidak cukup bukti.

“Ini sudah biasa di kepolisian katanya. Padahal realitanya bukan tidak cukup bukti. Karena kasus rape Kemenkop ini sudah memenuhi dua alat bukti, CCTV, hasil verifikasi, dan pengakuan para pelaku dan keterangan para saksi,” ujar Ratna.

Dengan dasar tersebut menurut Ratna, penyidik menetapkan empat pelaku sebagai tersangka dan ditahan. Bukan malah mengeluarkan SP2HP dengan menyatakan kurang alat bukti lalu mengeluarkan SP3 dengan alasan keadilan restorative (restorative justice).

“Ini menunjukkan penyidik tidak konsisten. Di satu sisi, alat bukti sudah terpenuhi dan atas dasar itu, pelaku ditetapkan sbg tersangka. Tetapi, di sisi lain perspektif penyidik masih menyalahkan korban. Sehingga ada korelasi kalau akhirnya penyidik menjadi aktif mendorong dan memfasilitasi damai juga dengan melibatkan uang damai,” ujar Ratna.

Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dua periode (2014-2016 dan 2017-2019), Ninik Rahayu menyebut penyelesaian kasus perkosaan di Kemenkop tidak berperspektif korban. Selain menikahkan korban dengan pelaku, keputusan menghentikan penyidikan perkara (SP3) oleh kepolisian dan diketahui oleh Kemenkop, sebagai tindakan yang gegabah dan tidak bertanggung jawab.

“Kasus perkosaan yang menimpa orang dewasa yang disangkakan dengan pasal 286 KUHP ini, tidak tepat juga bukan merupakan delik aduan. Jadi tidak bisa diselesaikan dengan jalur damai (restoratif justice) apalagi di SP3,” ujarnya.

Mantan komisioner ombudsman RI ini mendesak Kemenkop mengusut kembali kasus ini secara tuntas dan seadil-adilnya.

“Ini (kasus perkosaan di Kemenkop) jadi preseden buruk jika tidak kita selesaikan. Bisa kita bayangkan bagaimana institusi negara di daerah-daerah, jika di pusat yang dekat dengan kekuasaan saja penyelesaiannya seperti ini,” tegas Ninik.

Saat ini, Kemenkop berupaya mengusut kasus ini kembali bersama tim independen. Tim yang menjadi salah satu rekomendasi Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual (JPHP KKS), jaringan aktivis perempuan dan publik ini diharapkan dapat mengusut kasus yang berpihak kepada korban dan menghukum pelaku dengan sanksi seberat-beratnya

“Traumatik yang dialami korban ini seumur hidup. Kami akan berupaya menghasilkan keputusan yang adil untuk korban, sebagaimana tujuan tim independen ini dibentuk” ujar anggota Tim Kemenkop Riza Damanik yang juga staf khusus Menkop UMKM. (Redaksi/ Kustiah Hasyim)

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Megel Jekson