Beranda Eksklusif Indepth Report Jalan Panjang Perjuangan Korban Perkosaan di Kemenkop Mencari Keadilan

Jalan Panjang Perjuangan Korban Perkosaan di Kemenkop Mencari Keadilan

Ilustrasi Kekerasan Seksual (Open Source)

Bekerja Seperti Biasa

Usai diperkosa pada 6 Desember dini hari, Lala masih mengikuti rapat pertemuan yang diadakan kantornya, meskipun datang telat, sekitar pukul 9.30 WIB (rapat dimulai pukul 09.00 WIB). Di sana, korban bertemu pelaku. Bahkan usai RDK pun, Lala masih masuk kerja seperti biasanya, seolah tak terjadi apa-apa.

Di kantor, korban kembali bertemu pelaku. Menurut Ibu korban, di kemudian hari setelah kasus perkosaan dibuka, Lala mengaku sering mendapat sindiran merendahkan dari teman-teman di kantornya.

“Ih jijik gue lihat perempuan ini (yang dmaksud Lala),” ujar Ibu Lala menirukan aduan Lala.

Ibunya ingat di masa-masa berat, Lala berubah. Biasanya, kata ibunya, Lala selalu menceritakan pengalaman selama ikut rapat di luar kantor.

“Bagaimana keseruan rapat bersama teman-temannya, bagaimana pengalaman rapat bersama tim dan atasannya, Lala selalu cerita. Anaknya terbuka. Tapi, setelah RDK di bogor itu (2019 akhir) berbeda. Dia diam menutup diri,” ujar ibunya.

Ibunya mengira mungkin anaknya sedang lelah. Ia berkali-kali berusaha menanyakan kabar anaknya, namun gagal. Sampai di kemudian hari, kakak Lala (yang juga bekerja di Kemenkop sebagai honorer) mendapat telepon dari teman dekat Lala di kantor. Kata temannya tersebut, Lala menjadi korban perkosaan. Ibu dan ayah Lala kemudian lemas.

Korban sering mengeluh tak kuat dengan kasus yang ia alami. Korban berulang kali mengatakan kepada ibunya tak kuat mengalami peristiwa yang traumatik. Setelah dihubungi dan diberitahu teman Lala, dua minggu setelah kejadian perkosaan, Lala beserta keluarganya melapor ke kepolisian didampingi atasan Lala dari Kemenkop sekaligus sebagai saksi.

Kasus perkosaan yang terjadi hampir tiga tahun itu, akhirnya kembali ramai setelah sebelumnya sempat senyap lantaran diselesaikan dengan ‘diam-diam’ oleh penegak hukum, Kemenkop, juga pihak keluarga korban. Selama proses hukum, korban tidak didampingi pengacara. Lala baru mendapatkan pendamping hukum setahun lebih saat kasus bergulir.

Ibu Lala mengatakan selama proses hukum ia telah mengeluarkan puluhan juta yang diberikan untuk polisi. Juga untuk pengacara, ibunya sudah mengupayakan semampu yang ia dan suaminya bisa.

Empat pelaku pada 1 Januari 2020, ditahan polisi. Keluarga pelaku dan oknum pejabat Kemenkop ‘mengintimidasi’ korban dan keluarganya supaya kasus perkosaan yang dialami Lala, diselesaikan dengan kekeluargaan. Lalu, disusunlah ‘skenario’ satu dari pelaku (yang masih lajang) dinikahkan dengan korban, berikut dengan penandatangan surat perjanjian damai dari ayah korban. Proses penyelesaiaan kasus pidana dengan jalur damai ini, menurut W, difasilitasi dan diinisiasi oleh kepolisian Kota Bogor dan  Kemenkop yang terpaksa disetujui keluarga korban.

“Keluarga besar para pelaku mendatangi, lalu kepolisian menakut-nakuti kami kalau kasus ini masuk ke pengadilan akan lebih rumit dan lebih mengeluarkan uang banyak. Maka, jalan damai kami setujui,” ujar W.

Ia dan istrinya menyangka upaya menikahkan salah satu pelaku akan membuat anaknya bisa hidup damai dan tidak hidup dalam aib berkepanjangan. Nyatanya, setelah mendaftarkan pernikahan di KUA Cilandak, semua pelaku bebas. Pelaku yang menjadi menantunya hilang tak diketahui rimbanya. Sampai kemudian hari, kakak korban mendapatkan informasi kalau pelaku yang menjadi iparnya sedang mendapatkan beasiswa kuliah S2 di Universitas Brawijaya dari Bappenas, berdasarkan rekomendasi dari atasannya di Kemenkop.

Pada 2022, pelaku yang menikahi korban, melayangkan gugatan cerai dengan alasan rumah tangganya tidak harmonis.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Megel Jekson