Menteri BUMN Rini Soemarno (kanan) dan Menkeu Bambang Brodjonegoro (kiri) mengikuti rapat terbatas membahas masalah "dwelling time" dan tol laut yang dipimpin Presiden Joko Widodo di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa (29/3). Rapat tersebut membahas pemangkasan waktu tunggu kapal bermuatan kontainer yang bersandar di pelabuhan, pembangunan pelabuhan komersil dan jalur tol laut yang menghubungan Indonesia Timur dan Barat, serta pemangkasan harga jual komoditi sebagai manfaat dari tol laut. ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma/pd/16

Jakarta, Aktual.com-Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Rini Soemarno merupakan salah satu menteri yang kontroversial di Kabinet pemerintah Jokowi-JK. Sepak terjangnya mulai dari pemboikotan oleh DPR, Kereta Cepat, hingga holding, secara beruntun terus menerus membuat goncang bagi publik.

Tidak berhenti di situ, wacananya untuk memberikan nilai saham PT Pertamina Geothermal kepada PT PLN mendapat penolakan publik. Bahkan Indonesia Resources Studies (Iress) menyebut wacana itu tidak mencerminkan kajian kepentingan nasional dari sosok seorang menteri.

“Kementerian BUMN menyatakan penggabungan PGE ke PLN akan mempercepat pengembangan PLTP. Padahal pengembangan panas bumi merupakan proses standard yang sulit dipercepat karena adanya merger,” ujar Direktur Eksekutif Iress, Marwan Batu Bara, Senin (22/11).

Menurut Marwan, rencana itu malah akan semakin memperlambat pengembangan, hal itu karena proses birokrasi pengambilan keputusan akan lebih panjang akibat adanya keterlibatan manajemen PLN.

Iress mencurigai dan mengkhawatir adanya agenda terselubung dibalik rencana menteri Rini yang ingin mengalihkan saham PGE. Namun sejauh ini dia melihat arah tujuan aksi korporasi ini yakni untuk meningkatkan leverage dan mencari hutang.

“Ini perlu adanya transparansi dari menteri Rini, ada apa sebenarnya, kita tidak melihat hal yang strategis, bahkan kebijakan seperti itu berpotensi besar mengancam eksis tensi pengembangan panas bumi di Indonesia,” tandasnya.

*Dadangsah Dapunta

Artikel ini ditulis oleh:

Reporter: Dadangsah Dapunta