PT Gag Nikel mendapatkan konsesi dua kali lebih luas dari luas daratan Pulau Gag. Aktual/Dok JATAM

Jakarta, aktual.com – Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menyoroti praktik pertambangan nikel yang dilakukan oleh PT Gag Nikel di Pulau Gag, Raja Ampat, Papua Barat Daya, yang dinilai melanggar hukum dan mengancam kelestarian lingkungan.

Dalam siaran pers resminya, Jatam mengungkap bahwa PT Gag Nikel mendapatkan izin usaha pertambangan (IUP) seluas 13.136 hektare, padahal luas Pulau Gag sendiri hanya 6.500 hektare, dengan 6.034,42 hektare di antaranya berstatus hutan lindung. Hal ini berarti bahwa izin yang diberikan melampaui luas daratan pulau, bahkan mencakup wilayah perairan di sekitarnya.

“Dengan luas hanya 6.500 hektare, Pulau Gag dikategorikan sebagai pulau kecil menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K). Menurut undang-undang tersebut, pulau kecil tidak boleh ditambang,” tulis Jatam.

Ekologi Raja Ampat dalam Ancaman

Jatam menyatakan bahwa eksploitasi tambang nikel di Pulau Gag merupakan bom waktu bagi ekosistem Raja Ampat. Keanekaragaman hayati dan keindahan alam yang menjadikan wilayah ini destinasi wisata kelas dunia kini terancam oleh kerusakan ekologis.

“Kelima konsesi di Raja Ampat dikelola oleh perusahaan berbeda, tapi komoditasnya sama: nikel. Ini seluruhnya serupa bom waktu bagi keelokan bentang alam Raja Ampat,” lanjut siaran pers tersebut.

Jatam Kritik Pernyataan Menteri ESDM

Jatam juga menyoroti pernyataan Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, yang menyebut tidak ada kerusakan akibat tambang di Raja Ampat. Pernyataan tersebut dinilai sebagai “kebohongan luar biasa”, mengingat temuan citra satelit yang menunjukkan deforestasi seluas 262 hektare di Pulau Gag selama periode 2017–2024.

Kerusakan tidak hanya terjadi di daratan. Menurut Jatam, aktivitas tambang juga telah merusak wilayah pesisir, terumbu karang, dan garis pantai yang tertutup lumpur bekas tambang.

Jatam juga menuding adanya koordinasi sistematis antara Menteri ESDM, Bupati Raja Ampat, dan Gubernur Papua Barat Daya dalam menutupi kerusakan lingkungan tersebut.

“Dalam konteks bernegara, menjadi terang bahwa negara yang seharusnya menjadi pelindung lingkungan dan masyarakat, justru berperan sebagai kaki tangan korporasi dalam mengeksploitasi sumber daya alam,” ujar Jatam.

Lima Tuntutan Jatam

Menanggapi kondisi ini, Jatam menyampaikan lima tuntutan kepada pemerintah sebagai langkah konkret untuk menghentikan praktik pertambangan di pulau-pulau kecil:

  1. Mencabut semua regulasi yang melegalkan tambang di pulau kecil, termasuk UU Minerba dan aturan turunannya.
  2. Menyusun perlindungan hukum yang tegas dan tanpa celah untuk pulau-pulau kecil.
  3. Menghapus semua RTRW yang mengakomodasi pertambangan di wilayah pesisir dan pulau kecil.
  4. Menghentikan, mengevaluasi, mengaudit, dan mencabut seluruh izin tambang di pulau-pulau kecil.
  5. Berhenti menerbitkan izin tambang baru di seluruh pulau kecil Indonesia.

Dengan tegas, Jatam menantang pemerintah untuk memenuhi kelima tuntutan tersebut sebagai bentuk komitmen terhadap perlindungan lingkungan dan hak masyarakat lokal.

Artikel ini ditulis oleh:

Tino Oktaviano