Jakarta, Aktual.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merasa tak puas atas putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta terhadap penyuap politikus Partai Golkar Eni Maulani Saragih, Johannes Budisutrisno Kotjo.

Kotjo divonis 2 tahun 8 bulan penjara dan denda Rp150 juta karena terbukti menyuap Eni yang merupakan anggota Komisi VII DPR senilai Rp4,75 miliar dalam kasus suap PLTU Riau-1.

KPK pun melayangkan banding terhadap putusan tersebut.

“Untuk banding tadi saya cek ke Jaksa Penuntut Umum (JPU), pengajuan banding sudah disampaikan ke pengadilan secara resmi, KPK sudah mengajukan banding untuk putusan tingkat pertama dengan terdakwa Johannes Kotjo,” kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jakarta, Selasa (18/12).

Sebelumnya pada Kamis (13/12), Kotjo divonis 2 tahun 8 bulan penjara ditambah denda Rp150 juta subsider 3 bulan kurungan karena terbukti menyuap Anggota Komisi VII DPR fraksi Partai Golkar Eni Maulani Saragih senilai Rp4,75 miliar.

Menurut Febri, KPK merasa perlu mengajukan banding karena putusan terhadap Kotjo tersebut lebih rendah dari tuntutan JPU KPK yang menuntut agar Kotjo divonis 4 tahun penjara ditambah denda Rp250 juta subsider 6 bulan kurungan.

“Nanti proses lebih lanjut tentu akan dicermati bagaimana pertimbangan hakim pada proses banding,” ucap Febri.

Vonis terhadap Kotjo tersebut berdasarkan dakwaan pertama dari Pasal 5 ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.

Majelis hakim juga mengabulkan permohonan Kotjo untuk membuka sejumlah rekening yang diblokir KPK.

Pemberian uang ke Eni baru diberikan pada 13 Juli 2018 sejumlah Rp500 juta melalui Audrey Ratna Justianty. Sesaat setelah Audrey menyerahkan uang itu kepada Tahta, petugas KPK mengamankan Kotjo, Eni Maulani, Tahta dan Audrey.

“Terdakwa Johannes Budisutrisno Kotjo memberikan uang kepada anggota DPR Eni Maulani Saragih dengan maksud untuk mempercepat mendapat proyek IPP PLTU Riau 1, di mana terdakwa punya 2 kapasitas yaitu pertama sebagai pemilik PT BNR dan PT Samantaka Batubara dan kedua sebagai agen yang ditunjuk CHEC Ltd.

Pemberian uang dari terdakwa kepada Eni adalah agar Eni berbuat bertentangan kewajibannya meski Eni tidak punya kewenangan untuk penentuan pelaksanaan proyek-proyek PLN, tapi terdaka tahu Eni dapat memperlancar untuk mendapatkan proyek PLTU MT Riau 1,” jelas hakim.

Ant.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Teuku Wildan