Sebelumnya, pada akhir tahun 2015 juga terjadi PHK besar-besaran yang menimpa buruh sektor tekstil dan garmen. Dimana puluhan ribu buruh kehilangan pekerjaan. KSPI mencatat ini gelombang PHK jilid pertama.

Lalu PHK gelombang kedua terjadi pada kurun waktu Januari hingga April 2016, berdampak terhadap industri elektroinik dan otomotif. Di industri elektronik, PHK terjadi di PT Tosiha, PT Panasonik, PT Philips, PT Shamoin, PT DMC dan PT. Ohsung. Pengurangan kayawan di industri otomotif terjadi pada industri sepeda motor dan roda empat serta turunannya, seperti PT Yamaha, PT Astra Honda Motor, PT Hino, PT AWP, PT Aishin,PT Mushashi, PT Sunstar.

“PHK gelombang satu hingga tiga, penyebabnya adalah daya beli yang menurun akibat upah murah melalui penerapan PP 79/2015. Hal ini menjadi fakta bahwa kebijakan ekonomi tidak bisa mengangkat daya beli, tetapi hanya membuka ruang kemudahan untuk berinvestasi. Karena tidak diiringi dengan kebijakan peningkatan daya beli, maka yang terjadi adalah penurunan konsumsi,. Itulah yang menyebankan terjadinya PHK besar-besaran pada sektor ritel sepanjang tahun 2017,” tegas dia.

Selanjutnya indikator ketiga dirasa lebih ironis, merajalelahnya tenaga kerja asing (TKA) unskill. Disaat daya beli turun, gelombang PHK terjadi dimana-mana, TKA unskill seperti diberi karpet merah untuk bekerja di Indonesia.

“Akibatnya para pekerja Indonesia seperti tersisihkan. Lapangan pekerjaan yang semestinya bisa menyerap tenaga kerja, tidak terjadi. Tentu saja, hal ini menjadi keprihatinan tersendiri bagi kaum buruh Indonesia,” imbuhnya.

Keempat, KSPI mencatat pada tahun 2017 harga-harga melambung tinggi akibat pemerintah menyerahkan harga-harga pada mekanisme pasar.

Seharusnya kata Iqbal, pemerintah memberikan subsidi terhadap kebutuhan dasar masyarakat. Bukannya menyerahkan pada mekanisme pasar.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Nebby