Membaca isu Afi dan Nayirah dari perspektif perang nir militer. (ilustrasi/aktual.com)

Dalam dunia (geo) politik, kita kerap melihat dan/atau mendengar tentang isu. Entah isu tersebut berbasis fakta, atau cuma hoax, opini, kejadian, dan sebagainya, namun yang utama, bahwa ia diletakkan sebagai isu. Pertanyaannya, “Dimana peran, fungsi ataupun apa dan bagaimana keberadaan isu dimaksud pada sebuah momentum?” Sesuai judul di atas, coretan singkat di bawah ini mungkin bisa dijadikan rujukan kecil-kecilan dalam membaca sebuah isu yang bergulir.

Ya. Di lapangan, sering bergulir sebuah isu baik ia sebagai pola maupun isu sebagai metode. Sudah barang tentu, hal itu berbeda fungsi, peran dan penggunaan. Sebagai pola misalnya, maka isu cuma langkah awal saja, karena ia akan ditindaklanjuti dan/atau dimunculkan sebuah agenda/tema usai isu ditebar pada ranah publik. Nah, apabila publik ‘termakan’ atau larut pada isu serta agenda tersebut maka akan ditancapkan skema (kolonial). Inilah prinsip ITS (Isu – Tema/Agenda – Skema) dalam pola nirmiliter alias asymmetric warfare.

Selanjutnya mengurai isu sebagai metode, justru lebih simpel. Selain tak ada kelanjutan gerakan (tema dan skema), juga lazimnya isu dimaksud cuma test the water, atau sekedar pengalihan opini, penyesatan, ataupun kerapkali hanya untuk penggaduhan situasi, dan lain-lain. Inilah cara sederhana membaca isu agar benak kita ‘ora kemrungsung’ dengan berbagai bombardir isu-isu.

Merujuk judul di atas, agaknya ada yang hendak menyamakan antara isu kebohongan Nayirah dengan isu “warisan dan semua agama sama”-nya Afi. Terlalu jauh memang. Kenapa? Nariyah di Kuwait dan Afi di Indonesia. Selain jauh, juga isu kebohongan Nayirah berujung pada luluh-lantaknya Irak sebagai negara, sedangkan Afi, apa? Jangankan negara, kecamatan bahkan setingkat er te (Rukun Tetangga/RT) pun tidak ada pengaruh apa-apa. Tetapi bukan disitu persoalannya. Kita tak boleh membandingkan 2 (dua) isu secara hitam putih. Harus dirinci lebih dahulu.

Dari perspektif pola asymmetric war atau perang asimetris misalnya, ditemui ada 3 (tiga) tahapan/prisip yakni Isu – Tema/Agenda – Skema atau disingkat ITS. Pada moment tersebut, meski terdapat isu-isu lain —seperti isu senjata pemusnah massal misalnya— bahwa isu kebohongan Nayirah tergolong tahap permulaan untuk skema kolonialisme yang hendak ditancapkan oleh Barat di Irak.

Menurut hemat penulis, isu kesaksian palsu Nayirah tentang kekejaman tentara Saddam, justru merupakan penebalan isu seperti halnya isu-isu lain yang juga ditebar oleh Amerika (AS) dkk di publik global. Kualitas isu Nayirah mungkin sama atau lebih rendah daripada isu senjata pemusnah massal, atau boleh jadi isu Nayirah setingkat dan/atau lebih rendah lagi dibanding blokade ekonomi AS terhadap Irak sebelum Saddam Husein diserbu militer koalisi. Itulah penjelasan sekilas tentang isu.

Kita menginjak ke tema atau agenda lanjutan usai isu ditebar oleh Barat sebagai pintu masuk menjajah Irak. Ya, setelah isu ditebar, apa agenda lanjut Barat? Tak lain dan tidak bukan adalah hadirnya pasukan asing dan/atau invasi koalisi militer (NATO) pimpinan AS sehingga Irak porak-poranda, serta Saddam Husein –Presidennya— dihukum gantung. Itu agenda atau temanya. Lalu, apa skema kolonialisme disana? Yakni kapling-kapling minyak oleh kelompok negara yang terlibat dalam invasi militer secara terbuka. Misalnya, negara A dapat kapling minyak di Bahsra, negara B dapat kapling di Kirkuk, C dapat minyak disana, negara D memperoleh kapling disitu, dan seterusnya. Judulnya bagi-bagi kue (minyak dan gas).

Secara geopolitik, kapling-kapling minyak dan gas di Irak di atas — itulah yang disebut pencaplokan geoekonomi negara target. Jadi, isu yang disebar sebelumnya –entah isu Nayirah, ataupun isu senjata pemusnah massal, dll— hanyalah sekedar geostrategi asing guna memasuki kedaulatan Irak. Jadi urutannya, geopolitik-geostrategi dan geoekonomi. Itu satu tarikan nafas, jangan dibolak-balik pengucapan dan penulisannya.

Sekali lagi, membandingkan kebohongan Nayirah dengan isu “pluralisme”-nya Afi melalui media sosial memang terlalu jauh sebagaimana ‘disentil’ secara tersirat oleh Andy Windarto pada coretan kecilnya bertajuk “Empat Menit Kebohongan yang Meremuk-Redamkan Irak,” akan tetapi perlu dipahami bersama bahwa modus dan kharakter isu tersebut sesungguhnya tak jauh berbeda. Ya. Keduanya jelas direncanakan secara sistematis dan terstruktur. Bila ‘sandiwara Nayirah’ dipoles oleh para pakar di sekolah akting berkelas dunia, sedangkan ‘isu Afi’ disentuh oleh HS (pendiri Masyarakat Indonesia Anti Hoax) tulis Winda Luri dalam catatan di laman facebook miliknya berjudul “Kotak Pandora itu Bernama Afi.”

Afi Penulis Status ''Warisan'': Saya Cuma Ajak Berpikir, Kenapa Saya Di-bully?

Nah, lagi-lagi, membandingkan antara kiprah Afi dan Nayirah memang terlalu jauh, kenapa? Karena isu kebohongan Nayirah baru terbongkar setelah agenda dan skema penjajahan sudah mendarat di Irak. Apa boleh buat, Irak terlanjur luluh lantak. Dan isu dimaksud tidak bisa ditarik mundur. Sedang isu Afi terbongkar sebelum agenda dan skema lanjutan dijalankan. Atau isu Afi memang hanya sebatas metode, cuma pengalihan situasi saja?

Demikian kira-kira cara sederhana membaca isu baik ia sebagai metode dan terlebih lagi isu sebagai pola yang ada tindak lanjut gerakan. Akhirnya, menutup catatan kecil ini, ada pertanyaan menarik timbul, “Apa kira-kira agenda dan skema lanjutan seandainya isu Afi sebagai pola berjalan mulus/tidak terbongkar di awal?”

M Arief Pranoto/Hendrajit