Agus Widjajanto, Praktisi Hukum
Agus Widjajanto, Praktisi Hukum

Untuk mengetahui sebuah sistem ketatanegaraan, sebuah bangsa harus melihat dan mempelajari sejarah terbentuknya negara tersebut, tak terkecuali Indonesia, sebagai pembelajaran bagi generasi muda ke depan.

Seperti yang tertulis dalam sejarah bangsa, BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dibentuk oleh para pendiri bangsa dan diketuai oleh dr. Radjiman Widyodiningrat. BPUPKI merupakan saran dan arahan panglima militer tertinggi pendudukan Jepang di Asia Tenggara, di Burma saat itu, yang menjanjikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia di kemudian hari.

BPUPKI sendiri, setelah dibentuk, bersidang untuk menentukan langkah konkret dan membahas rancangan sistem pemerintahan serta sistem ketatanegaraan yang akan diterapkan di kemudian hari.

Pada tanggal 29 Mei 1945, dimulai sidang pandangan umum tentang dasar negara dari Moh. Yamin, dilanjutkan pada 31 Mei 1945 oleh Mr. Soepomo, dan terakhir pada 1 Juni 1945 oleh Bung Karno, yang dikenal dengan lahirnya Pancasila berdasarkan uraian pidato beliau di depan sidang BPUPKI.

Situasi geostrategis dan politis global serta regional cepat berubah. Amerika Serikat, pada tanggal 6 Agustus 1945, telah menjatuhkan bom atom di kota Hiroshima, Jepang, yang meluluhlantakkan kota Hiroshima dan Nagasaki saat itu. Walaupun begitu, Jepang belum menunjukkan tanda-tanda menyerah. Para pendiri bangsa memperkirakan bahwa kejatuhan Jepang tinggal menunggu waktu. Oleh karena itu, pada tanggal 7 Agustus 1945, dibentuklah PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia).

Pada tanggal 9 Agustus 1945, Soekarno, Moh. Hatta, dan dr. Radjiman Widyodiningrat, selaku tokoh pemuda pemimpin BPUPKI bentukan Jepang untuk mempersiapkan kemerdekaan, diundang oleh kepala tertinggi tentara pendudukan Jepang di Asia Tenggara, di kota Dalat, Vietnam, oleh Marsekal Terauchi. Mereka diyakinkan bahwa militer Jepang tetap akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia dengan syarat rakyat Indonesia harus membantu Jepang dalam memenangkan Perang Asia Timur Raya melalui Pembela Tanah Air (PETA), bentukan Jepang dalam pendidikan militer di Indonesia.

Setelah kembali dari Dalat, Vietnam, para pendiri bangsa mengambil keputusan cepat untuk membentuk panitia kecil yang terdiri dari 11 anggota dan ketua guna menyusun UUD Negara saat Indonesia merdeka. Dari panitia kecil itulah konsep dan desain ketatanegaraan kita dirancang dan dibentuk, yang kemudian melahirkan urutan sila-sila dalam Pancasila sebagai dasar negara serta UUD 1945 sebagai hukum dasar negara. Proses ini didahului oleh peristiwa Piagam Jakarta yang menuntut agar dijalankannya syariat Islam dalam sila pertama Pancasila. Seperti kita ketahui, perwakilan dari Indonesia Timur, Latuharhary, mengancam untuk keluar dan mendirikan negara sendiri. Keputusan cepat pun diambil oleh Moh. Hatta, yang mengubah sila pertama menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Dengan demikian, antara Pancasila dan UUD 1945 merupakan bagian tak terpisahkan secara integral, seperti halnya lingga dan yoni, atau sepasang suami dan istri yang saling mengisi satu dengan lainnya.

Pada tanggal 15 Agustus 1945, secara resmi Jepang menyerah pada Sekutu. Maka, sesuai dengan sejarah, untuk memanfaatkan situasi kekosongan kekuasaan, para pemuda memaksa Soekarno, yang dijemput di Rengasdengklok, Karawang, untuk dibawa ke Jakarta dan memproklamirkan kemerdekaan bangsa pada tanggal 17 Agustus 1945. Sehari setelahnya, konsep dasar negara dan UUD yang telah dipersiapkan sebelumnya oleh panitia kecil bentukan PPKI disahkan menjadi dasar negara dan hukum dasar negara, menandai terbentuknya pemerintahan Republik Indonesia.

Akan tetapi, sangat disayangkan bahwa para elite politik masa kini tidak melihat sejarah terbentuknya desain negara dalam sistem ketatanegaraan. Hingga pada era Reformasi, telah dilakukan amandemen konstitusi kita, yakni UUD 1945, sebagai hukum dasar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Amandemen ini telah berlangsung empat kali dan telah mengubah sistem ketatanegaraan kita, yang awalnya didesain dengan sistem kerakyatan melalui sistem perwakilan dengan musyawarah untuk mencapai mufakat. Manifestasi dari suara rakyat yang dianggap sebagai suara Tuhan lewat sebuah majelis yang bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) diubah menjadi sistem pemilihan langsung dalam pemilihan umum. Kini, seorang presiden, sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan, dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum yang diusung dan diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik.

Belum lagi, adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menyangkut presidential threshold yang membatalkan aturan sebelumnya, yakni 20 persen perolehan suara secara nasional atau 25 persen suara di parlemen, menjadi 0 persen untuk bisa mengajukan calon presiden dan wakilnya oleh partai politik. Hal ini tentu menarik untuk dicermati karena dengan sistem multi partai yang lebih dari 20 partai politik, setiap partai politik bisa mengajukan calon presiden tanpa harus berkoalisi dengan partai politik lain.

Pada era Reformasi saat ini, kebebasan berpendapat dan berbicara diberikan keleluasaan. Dengan berlakunya sistem pemilihan langsung dalam pemilihan umum, euforia begitu besar seolah bergema di seluruh negeri. Jabatan presiden dan wakil presiden bukan lagi sebagai mandataris MPR, melainkan sebagai mandataris rakyat dari seluruh rakyat Indonesia. Namun, setelah terpilih dan berkuasa, suara rakyat terkadang dianggap alunan musik yang tidak lagi perlu didengarkan. Kebijakan yang diambil oleh mandataris rakyat sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan secara hukum tidak perlu dikonsultasikan atau memberikan pertanggungjawaban langsung kepada pemberi mandat yang jumlahnya mencapai 270 juta jiwa, melainkan cukup kepada anggota DPR RI dari seluruh partai politik. Sayangnya, anggota dewan faktanya selalu bertanggung jawab kepada partai politik tempat mereka bernaung, bukan kepada rakyat yang memilih presiden secara langsung.

Inilah yang tidak pernah dipikirkan saat Reformasi dengan mengamandemen UUD hingga empat kali, yang bukan saja telah meluluhlantakkan sistem dan desain awal dari sistem ketatanegaraan yang dirancang para pendiri bangsa, tetapi juga membuka peluang terjadinya sistem feodal dalam jabatan kepala daerah melalui pemilihan langsung. Akhirnya, kepala daerah yang terpilih pun melakukan nepotisme dan tindakan korupsi secara masif dalam demokrasi era Reformasi, yang dulu diharapkan membawa perubahan dari sistem Orde Baru yang dianggap otoriter menuju demokrasi. Namun, yang terjadi justru degradasi moral dan sistem yang memberikan ruang bagi nepotisme serta korupsi yang sangat masif di negara ini dengan biaya politik yang sangat tinggi.

Artikel ini ditulis oleh:

Tino Oktaviano