Ini menjadi bias, sedangkan tata bahasa yang digunakan dalam konstitusi harus jelas, singkat, padat, dan berisi. Hal ini berlaku pada konstitusi di seluruh dunia. Jangan sampai terjadi multitafsir yang berakibat semua warga negara dapat menafsirkan sesuai sudut pandang masing-masing, sehingga menimbulkan ketidakpastian dalam hukum.

Pada intinya, sistem ketatanegaraan terkait dengan hubungan antar lembaga negara, khususnya antara MPR, Presiden, dan DPR dalam kerangka sistem pemerintahan presidensial. Dalam sistem ini, Presiden selaku chief of executive/chief of government adalah penyelenggara negara tertinggi yang bertanggung jawab atas jalannya pemerintahan. Dengan demikian, Presiden adalah primus inter pares di antara lembaga negara lainnya, yang berfungsi sebagai pengawas: DPR secara politik, BPK secara finansial, MK dan MA secara legal, serta MPR sebagai institusi negara yang memberikan panduan, arah, dan tujuan (kompas) bagi negara yang akan dijalani oleh Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.

Saat ini, arah dan tujuan bagi Presiden sudah tidak ada lagi karena kewenangan MPR dalam menetapkan GBHN telah dihilangkan melalui amandemen.

Demikian pula, dengan dirombaknya format UUD 1945 sebanyak empat kali, terdapat ketidaksinkronan antara sila keempat Pancasila dengan UUD 1945 hasil amandemen. Ibarat dalam rumah tangga, jika hubungan antara suami dan istri tidak harmonis serta tidak sejalan, tentu akan menimbulkan masalah dalam kehidupan keluarga. Demikian pula dengan negara; jika dasar negara tidak lagi seirama dengan hukum dasarnya, maka akan terjadi ketidakstabilan dalam sistem ketatanegaraan.

Dengan demikian, kita harus mengakui bahwa para founding fathers (bapak pendiri bangsa) kita lebih matang, cerdas, serta memiliki pemikiran progresif yang mampu menjangkau ratusan tahun ke depan, melampaui pola pikir di zamannya dalam menyusun sistem ketatanegaraan.

Sementara itu, Guru Besar Hukum Tata Negara dari Universitas Padjadjaran Bandung, Prof. Dr. I Gde Pantja Astawa, menambahkan bahwa:

“Keberadaan MPR dan DPR dalam sistem ketatanegaraan Indonesia di bawah UUD 1945 sangat erat kaitannya dengan sila keempat Pancasila:
‘Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.’
Kerakyatan (kedaulatan rakyat/demokrasi) tidak memungkinkan rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam negara untuk memerintah secara langsung (direct democracy). Oleh karena itu, kedaulatan rakyat direpresentasikan oleh dua lembaga negara, yaitu MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) dan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat).
MPR berfungsi sebagai functional representation, sedangkan DPR sebagai political representation. Apapun yang dihasilkan oleh kedua lembaga tersebut harus dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan, artinya diputuskan secara bijak (wisdom) demi kepentingan bangsa dan negara, bukan untuk kepentingan kekuasaan. Sebab, negara ini adalah negara hukum (rechtsstaat), bukan negara kekuasaan (machtsstaat). Oleh karena itu, semua kekuasaan harus tunduk pada hukum (konstitusi) sesuai dengan ajaran atau paham konstitusionalisme (constitutionalism), yang esensinya berbicara tentang limited government (pemerintahan dengan kekuasaan yang dibatasi).”

Dengan belajar dari sejarah terbentuknya negara dan sistem ketatanegaraan yang dirancang oleh para pendiri bangsa, kita harus introspeksi dan bercermin: Apakah keputusan-keputusan politis yang diambil oleh para pemangku kebijakan sudah benar?

Oleh karena itu, marilah kita bersama-sama bergandengan tangan untuk mengembalikan kewenangan MPR sebagai lembaga yang mewakili kepentingan rakyat dan sebagai pelaksana kedaulatan rakyat dalam sistem ketatanegaraan kita. Secara historis, konsep ini telah terbukti sebagai sistem terbaik bagi bangsa ini, yang menghasilkan stabilitas politik, keamanan, serta pertumbuhan ekonomi yang menjadikan Indonesia sebagai Macan Asia—sesuatu yang belum pernah diraih selama era reformasi.

Dalam kaitannya dengan manifestasi bahwa suara rakyat adalah mandat tertinggi, sebagaimana suara Tuhan.

 

Oleh: Agus Widjajanto

Penulis adalah, praktisi hukum, pemerhati sosial politik, budaya bangsanya, tinggal di Jakarta

Artikel ini ditulis oleh:

Tino Oktaviano