Negara integralistik dalam perspektif Soepomo berakar dari struktur sosial masyarakat desa, di mana setiap orang dan golongan memiliki tempat serta kewajiban sendiri-sendiri sesuai kodratnya. Itulah sebenarnya sistem pemerintahan dalam perspektif keindonesiaan yang mempunyai ciri khas tersendiri, berbeda dari demokrasi di negara-negara lain di belahan dunia, yang berkonsep liberal dan sosialis.

Pendapat Soepomo diketengahkan sebagai jalan tengah bagi konsep negara yang akan dibentuk, di mana Soekarno sendiri mencita-citakan sebuah negara yang berbentuk republik dengan sistem presidensial. Ia menginginkan sistem dua partai yang meniru Amerika Serikat—saat itu negara pemenang Perang Dunia II—dan berharap dua partai politik tersebut memiliki basis nasionalis dan agama.

Untuk itu, Soepomo mengetengahkan konsep keindonesiaan asli dari budaya Nusantara dalam berdemokrasi, melalui keputusan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam sistem perwakilan, seperti halnya rembuk desa dalam konsep pemerintahan desa dalam lingkup negara kesatuan/nasional sebagai jalan tengah.

Dalam perjalanan sejarah, karena pengaruh Perang Dingin, Soekarno membentuk Gerakan Non-Blok, tetapi justru terjebak dalam politik poros Jakarta-Pyongyang-Beijing-Moskow. Hal ini menyebabkan terbentuknya paham politik yang dikenal dengan NASAKOM (Nasionalis, Agamis, dan Komunis). Pada masa pemerintahan Orde Baru, sistem tiga partai kembali diadopsi dengan menempatkan Sekber Golkar sebagai Golongan Karya bersama dua partai berbasis agama dan nasionalis, yakni Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Pada era Reformasi, ide terbentuknya negara integralistik dari Soepomo, yang diilhami dari pemerintahan desa pada zaman kerajaan di Jawa dan Nusantara, merujuk pada tulisan Mpu Tantular dalam Kakawin Nagarakertagama. Kakawin tersebut menggambarkan situasi dan sistem kekuasaan saat itu, yang kemudian mengilhami terbentuknya dasar negara, yakni Pancasila, saat Indonesia merdeka. Namun, setelah mengalami empat kali amandemen, konsep tersebut telah dirombak total.

Menengok kilas balik pada masa Orde Baru, memang tidak selalu sempurna. Wajar jika ada kekurangan, seperti dalam doktrinisasi politik, di mana institusi TNI saat itu memiliki Dwi Fungsi ABRI, yang tidak hanya berperan sebagai alat pertahanan dan keamanan, tetapi juga alat politik. Hal ini seharusnya diperbaiki, bukan justru dirombak total hingga menghilangkan soko guru dari tiang penyangga negara. Ibarat mengejar tikus di lumbung padi, bukan tikusnya yang dibunuh, tetapi justru lumbungnya yang dibakar. Itulah yang terjadi pada tahun 2002 menjelang amandemen pertama.

Sebagai penjelmaan suara seluruh rakyat, MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) dahulu merupakan manifestasi dari lembaga rembuk desa adat, yang memberikan keputusan berdasarkan musyawarah mufakat. Susunan anggota MPR terdiri dari seluruh anggota DPR RI serta wakil golongan, seperti perwakilan agama dari seluruh Nusantara (NU, Muhammadiyah, Dewan Wali Gereja, Dewan Hindu, dan Dewan Tertinggi Buddha), KNPI, HMI, serta organisasi kemasyarakatan lainnya, termasuk organisasi pemuda dan wakil daerah. Wakil daerah ini mencakup anggota DPD terpilih, gubernur sebagai perwakilan administratif pusat, bupati, dan wali kota. Pada masa Orde Baru, sistem ini merupakan penjelmaan dari suara seluruh rakyat yang dilaksanakan melalui lembaga perwakilan.

Pada masa lalu, MPR diberikan mandat dan wewenang untuk menyusun GBHN (Garis Besar Haluan Negara) agar arah pembangunan bangsa menjadi jelas, baik dalam jangka panjang, menengah, maupun pendek. Pemerintah kemudian membuat Repelita dalam pelaksanaan GBHN tersebut. Inilah wujud dari sistem negara integralistik ala Soepomo dalam sistem pemerintahan desa dalam lingkup skala negara.

Namun, saat ini kewenangan MPR telah direduksi. Kewenangan untuk memilih presiden dan wakil presiden sudah tidak berlaku lagi, begitu pula dengan wewenang menetapkan GBHN yang telah dicabut. Akibatnya, pemerintah tidak lagi memiliki GBHN atau Repelita, sehingga bangsa ini kehilangan arah (kompas). Masing-masing pemerintah daerah dalam sistem otonomi daerah dapat menerjemahkan kebijakan sesuai perspektif masing-masing. Belum lagi sistem pemilihan langsung, yang mengubah MPR dari lembaga tertinggi dengan mandat terhadap presiden dan wakil presiden menjadi sistem di mana presiden adalah mandataris rakyat melalui pemilu langsung. Hal ini membuat bangsa ini seolah kehilangan ruhnya, bermetafora menjadi bangsa dengan sistem liberal, sesuatu yang bahkan tidak pernah dibayangkan oleh para pendiri bangsa.

Perlu diingat bahwa Pancasila sebagai dasar negara dan sumber dari segala sumber hukum serta UUD 1945 sebagai konstitusi tertulis merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, ibarat suami dan istri dalam sebuah rumah tangga. Dasar negara telah mengatur sistem kerakyatan dengan cara perwakilan, yang merupakan manifestasi dari suara rakyat melalui wakil-wakilnya di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Hal ini tertuang dalam sila keempat Pancasila:

“Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.”

Bunyi sila keempat ini selaras dengan Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 sebelum amandemen, yang berbunyi:

“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.”

Sejak awal, sistem ini didesain sebagai lingga dan yoni—suatu hubungan integral yang tidak bisa dipisahkan.

Namun, setelah dilakukan amandemen, Pasal 1 Ayat (2) berubah menjadi:

“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.”

Artikel ini ditulis oleh:

Tino Oktaviano