Penulis sendiri hingga saat ini masih belum bisa memahami bagaimana bisa terjadi sebuah UUD Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sangat flamboyan dan merupakan mahakarya dari para pendiri bangsa dapat diobrak-abrik melalui amandemen hingga keempat kalinya, yang secara nyata telah menimbulkan permasalahan demi permasalahan bangsa. Hal ini berakibat pada bangsa ini yang hanya berkutat pada konflik politik tiada henti.

Pikiran adalah sebuah ide yang bisa membuahkan suatu fenomena perubahan ataukah justru membuahkan kesesatan, tergantung dari bagaimana kita mengendalikannya dalam konteks tujuan.

Berbicara soal sistem ketatanegaraan yang didesain oleh para bapak pendiri bangsa saat membentuk negara ini, tidak bisa dilepaskan dari eksistensi dan keberadaan MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat), karena sejak awal negara ini didesain sebagai negara republik dengan demokrasi sistem perwakilan. Hal ini tidak bisa dipisahkan dari sejarah lahir dan terbentuknya negara ini, baik dari sejarah lahirnya Pancasila sebagai dasar negara maupun desain awal mengenai pembentukan hukum dasar tertulis, yaitu UUD 1945 oleh Panitia Kecil dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Dasar negara dan UUD sebagai konstitusi tertulis merupakan satu kesatuan yang memiliki hubungan integral, ibarat suami istri dalam sebuah rumah tangga yang saling mengisi satu sama lain dan tidak dapat dipisahkan.

Seperti tertulis dalam sejarah bangsa, saat Bung Karno menggali nilai-nilai luhur dari berbagai adat istiadat dan kebiasaan yang telah hidup dan tumbuh di bumi Nusantara, beliau dalam pidatonya menyatakan:

“Saya menggali yang paling dalam, itu aku menggali di dalam ingatanku, menggali dalam ciptaku, menggali di dalam khayalku, apa yang terpendam di dalam bumi Indonesia ini, agar supaya hasil dari penggalian itu dapat dipakai sebagai dasar negara bagi negara yang akan datang.”

Kakawin Nagarakretagama yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuno oleh Mpu Prapanca ditemukan pertama kali di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat, pada tahun 1894. Naskah ini pertama kali disebut Kakawin Desa Warnana dan melukiskan tentang pemerintahan saat itu dalam wilayah Kerajaan Majapahit, sebagaimana termuat dalam bait (Ngk. Pupuh 94: 4). Naskah Kakawin Nagarakretagama ini menjadi sangat menarik dan istimewa karena memberikan keterangan langsung mengenai kondisi, adat istiadat, serta sistem pemerintahan baik di tingkat lokal (daerah dalam lingkup kadipaten), desa, maupun pusat kerajaan. Naskah ini memberikan gambaran mengenai masyarakat Jawa Kuno pada suatu masa tertentu dari sudut pandang tertentu.

Inilah sebenarnya yang menginspirasi para pendiri bangsa kita (Founding Fathers) dalam membentuk dan mendesain konsep berdirinya negara kesatuan yang kemudian dikenal dengan nama Indonesia.

Berbicara tentang sistem ketatanegaraan kita, tidak bisa dilepaskan dari sejarah terbentuknya negara ini. Tokoh yang dipandang sangat penting dan berpengaruh dalam pemikiran konsep ketatanegaraan serta pembentukan UUD 1945 adalah Mr. Soepomo. Beliau merupakan ikon penting dalam dunia politik dan hukum di Indonesia. Dalam pidatonya tertanggal 31 Mei 1945 di depan BPUPKI, Soepomo mengemukakan gagasan tentang “Negara Integralistik” sebagai bentuk paling tepat bagi Indonesia setelah merdeka. Gagasan ini kemudian menjadi inspirasi dalam penyusunan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), di mana Soepomo berperan sebagai ketua tim perumus UUD 1945.

Pemikiran Soepomo pada saat itu menimbulkan perdebatan dan dianggap kontroversial. Konsep negara integralistik yang ditawarkannya dianggap memiliki kemiripan dengan sistem pemerintahan fasis di Jepang dan Jerman saat itu. Namun, menurut Soepomo, konsep ini sejalan dengan watak masyarakat Indonesia yang dilandasi semangat kekeluargaan. Setelah Indonesia merdeka, banyak studi hukum ketatanegaraan menilai bahwa pemerintahan Orde Baru merupakan penerjemahan paling sempurna dari gagasan yang diajukan oleh Soepomo.

Soepomo, seorang bangsawan Jawa keturunan darah biru dari Keraton Kasunanan Surakarta, sangat memahami konsep manunggaling kawula gusti dalam sistem pemerintahan feodal Jawa. Konsep ini merupakan penyatuan antara rakyat dan pemimpin yang bertujuan membentuk masyarakat harmonis berdasarkan karakteristik masyarakat Indonesia. Inspirasi Soepomo sebenarnya berasal dari model pemerintahan desa-desa kuno di Jawa, seperti yang tertulis dalam Kakawin Nagarakretagama.

Para ahli hukum tata negara berpendapat bahwa dalam kajian penelitiannya, Soepomo mengambil konsep pemikiran dari tiga filsuf abad ke-18 dan ke-19, yaitu Benedict Spinoza, Adam Müller, dan Georg W. F. Hegel. Hal ini mencerminkan ketertarikan Soepomo terhadap sistem pemerintahan Jepang dalam bentuk Tenno-Heika dan sistem pemerintahan Jerman pada masa itu.

Namun, Soepomo menolak konsep individualisme Barat sebagaimana dirujuk oleh filsuf Inggris, Jeremy Bentham. Menurut Soepomo, konsep individualisme Barat bertentangan dengan struktur masyarakat desa di Indonesia, yang merupakan cerminan struktur masyarakat yang lebih luas dalam negara. Bagi Soepomo, bentuk negara yang paling ideal dan orisinal adalah negara yang menyatukan kawula (rakyat) dengan gusti (pemimpin).

Masyarakat desa adat menjadi referensi paling sempurna dan orisinal bagi Soepomo dalam konsep sistem pemerintahan. Dalam negara integralistik ala pemerintahan desa, tidak ada pertentangan, melainkan selalu ada harmonisasi kepentingan yang diambil melalui musyawarah mufakat, sebagaimana yang diterapkan dalam lembaga rembuk desa. Negara dikelola secara kekeluargaan, layaknya sebuah keluarga harmonis.

Artikel ini ditulis oleh:

Tino Oktaviano