(ilustrasi/aktual.com)

Ketika tragedi Rohingya terjadi, dan pemerintah Myanmar jadi sorotan dunia. Yang terbersit dalam benak saya, malah peran Myanmar yang dulu bernama Birma, sebagai salah satu dari lima negara pemrakarsa KAA Bandung 1955.

Ketika Indonesia menggandeng Myanmar bersama India, Pakistan dan Sri Lanka, sebagai negara sponsor KAA Bandung 1955, merupakan manuver diplomatik yang sangat strategis. Keempat negara tersebut, selain eks jajahan Inggris, secara geopolitik merupakan mata-rantai penguasaan Inggris atas Asia Tenggara dan Asia Selatan, seperti istilah Harold McKinder sebagai Outer Island.

McKinder yang pakar geopolitik sekaligus penasehat strategis Inggris baik di Perang Dunia I dan II, memang menitahkan Inggris untuk menjadikan Asia Tenggara dan Asia Selatan sebagai Pancangan Kaki untuk menguasai Asia.

Maka merangkul negara-negara yang sejatinya tetap satelitnya Inggris meski sudah merdeka, menjadi langkah awal untuk mengunci manuver Blok Barat yang mana dalam era Perang Dingin tersebut dimotori oleh persekutuan strategis Inggris-AS.

Namun pada saat yang sama, Indonesia juga membujuk Republik Rakyat Cina, kutub yang berlawanan terhadap Blok Barat, yang waktu itu lagi gencar-gencarnya sedang mencari panggung internasional untuk mempropagandakan dirinya bahwa sekarang penguasa Cina adalah Mao Zhe Dong dan bukan Chiang Kai Shek yang sudah kegusur ke Taiwan. Dalam perhitungan Bung Karno dan Perdana Menteri Ali Sastroamijoyo kala itu, KAA Bandung merupakan “panggung yang sempurna” bagi RRC. Maka, dengan keberhasilan Indonesia merangkul keempat negara sponsor yang notabene merupakan eks jajahan Inggris, dan RRC sebagai pesaing utama Blok Barat di era Perang Dingin, maka misi Indonesia untuk memelopori terbentuknya sebuah Kekuatan Ketiga di luar kedua Blok yang bertarung di Perang Dingin, telah menemukan momentumnya yang tepat.

Maka mulailah Indonesia memanfaatkan forum KAA Bandung sebagai sarana melahirkan kekuatan ketiga di luar blok Barat maupun Timur. Apa skema yang mendasari Indonesia untuk menggalang dan ,membangun ikatan bersama sebagai kekuatan ketiga tersebut? Ternyata bertumpu pada wawasan dan kesadaran geopolitik Bung Karno yang sangat cerdas dan imajinatif.

Mari simak wawasan geopolitik Bung Karno pada pidator Pembukaan KAA Bandung 1955:

“Saudara-saudara, betapa dinamisnya zaman kita ini. Saya ingat, bahwa beberapa tahun lalu saya mendapat kesempatan membuat analisa umum tentang kolonialisme. Dan bahwa saya pada waktu itu meminta perhatian pada apa yang saya namakan ‘Garis Hidup Imperialisme.’

Garis itu terbentang mulai selat Jibraltar, melalui Lautan Tengah, Terusan Suez, Lautan Merah, Lautan Hindia, Lautan Tiongkok Selatan(Sekarang Laut Cina Selatan) sampai ke Lautan Jepang. Daratan-daratan sebelah-menyebelah garis hidup yang panjang itu sebagian besar adalah tanah jajahan. Rakyatnya tidak merdeka.

Hari depannya terabaikan kepada sistem asing. Sepanjang garis hidup itu, sepanjang urat nadi imperialisme itu, dipompakan darah kehidupan kolonialisme.”

Petikan dari pidato Bung Karno ini, ibarat mengurai benang kusut dulu, sebelum akhirnya menawarkan solusi atau obat alternatifnya.

Selanjutnya Presiden Pertama RI ini berkata:

“Dan pada hari ini di gedung ini, berkumpullah pemimpin-pemimpin bangsa-bangsa yang tadi itu! Mereka bukan lagi menjadi mangsa kolonialisme.

Mereka bukan lagi menjadi alat permainan kekuasaan-kekuasaan yang tak dapat mereka pengaruhi. Pada hari ini tuan-tuan menjadi wakil bangsa-bangsa yang merdeka, bangsa-bangsa yang mempunyao perawakan dan martabat yang lain di dunia ini.”

Ya, inilah kontra skema Bung Karno yang dia tawarkan di KAA dan akhirnya disetujui secara bulat melalui lahirnya DASA SILA BANDUNG. Mengubah Garis-Garis Hidup Imperialisme menjadi Garis-Garis Hidup Asia-Afrika.

Buah dari kontra skema untuk menghadapi polarisasi dua kutub tersebut, maka lahirlah Dasa Sila Bandung yang terdiri dari 10 poin:

  1. Menghormati HAM sebagaimana tercantum dalam Piagam PBB.
  2. Menghormati kedaulatan dan integritas semua bangsa.
  3. Menghormati perbedaan dan persamaan ras semua bangsa di dunia.
  4. Tidak campur tangan dan intervensi persoalan dalam negeri negara lain.
  5. Menghormati hak setiap bangsa untuk mempertahankan diri, baik sendiri mapun kolektif, sesuai Piagam PBB.
  6. Tidak menggunakan peraturan dan pertahanan kekuatan dalam bertindak untuk kepentingan suatu negara.
  7. Tidak mengancam kemerdekaan politik atau integritas teritorial suatu negara.
  8. Mengatasi segala perselisihan internasional dengan jalan damai sesuai kesepakatan PBB.
  9. Memajukan kepentingan bersama dan kerjasama semua bangsa.
  10. Serta Mengedepankan hukum dan kewajiban internasional.

Sayangnya, rejim militer Jendral Ne Win bukan orang yang terlibat secara aktif dalam semangat memelopori KAA Bandung 1955. Yang berperan aktif kala itu adalah Perdana Menteri Birma Unu, yang justru digulingkan oleh junta militer pimpinan Jenderal Ne Win pada 1962.

Bahkan menurut saya, bukan saja Unu, namun beberapa pemimpin Asia Afrika yang ikut berkomitmen dan berkhidmad kepada KAA Bandung, akhirnya tergusur dari kekuasaan. Bung Karno pada 1966. Unu Pada 1962. Gamal Abdel Nasser Mesir, 1970. Pangeran Norodom Sihanuk, 1970.

Ini menggambarkan betapa dahsyatnya kekuatan gagasan dan kekuatan mengubah yang terkandung dalam KAA Bandung 1955. Tersingkirnya para tokoh tersebut, justru harus jadi pendorong untuk meneruskan cita-cita para founding fathers KAA Badung tersebut. Bukannya malah surut ke belakang dan melupakannya.

Hendrajit, Redaktur Senior Aktual.