HASIL rekapitulasi suara Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) DKI yang diumumkan beberapa hari lalu menunjukkan pasangan calon Anies-Sandi menang telak. Berdasarkan data tersebut, pasangan Anies-Sandi memperoleh suara 57,96 persen dan lawannya Ahok-Djarot ‘cuma’ mengantongi suara 42,04 persen.
Bagaimana publik menyikapi angka-angka ini? Tentu saja beragam. Secara garis besar, yang dinamakan publik bisa kita belah jadi dua. Pertama, mereka yang anti Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Kedua, para pendukung gubernur yang didakwa menista agama Islam atau yang biasa disebut Ahokers.
Buat kelompok pertama, kemenangan Anies-Sandi langsung dimaknai kemenangan demokrasi. Mereka juga menyebut hasil Pilkada babak dua sebagai kemenangan kebenaran atas kebatilan.
Ungkapan-ungkapan seperti ini harus dibaca sebagai hal wajar, mengingat sepak terjang Basuki selama menjadi gubernur lungsuran Jokowi yang banyak meninggalkan jejak hitam. Sebut saja, misalnya, penggusuran ganas dan brutal atas ratusan titik permukiman kumuh.
Rakyat yang tinggal di tanah-tanah yang diklaim Ahok sebagai tanah negara itu, harus pergi tanpa serupiah pun ganti rugi. Faktanya, banyak mereka sudah tinggal selama belasan dan puluhan tahun. Bahkan tidak sedikit yang sudah hadir di sana secara turun-temurun, jauh sebelum republik ini lahir.
Padahal, pasal 1963 jo. 1967 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur bahwa warga yang menduduki suatu tanah, dengan itikad baik, selama kurun waktu 30 tahun atau lebih, dapat mendaftarkan tanah tersebut sebagai miliknya. Tapi Ahok melabrak semua UU dan ketentuan yang ada.
Artikel ini ditulis oleh: