Sebaliknya, bagi para Ahokers, kekalahan juragannya ini tentu saja amat menyakitkan. Tapi, sebagai balakurawa yang militan, mereka tidak kehabisan alasan untuk disorongkan sebagai pembelaan. Mereka sibuk merangkai kata untuk membuat penduduk Jakarta ‘memaklumi’ mengapa majikannya kalah.

Namun, bukan Ahokers kalau mereka melulu sibuk menyusun pembenaran dan pemakluman. Mereka, tentu saja, seperti biasa, menjadikan kekalahan telak yang memalukan itu sebagai pukulan balik ke Anies-Sandi. Salah satu mantra yang dirapalkan adalah, Ahok kalah karena dicurangi.

Ya, benar. Anda jangan kaget dengan mantra aneh ini. Sekali lagi saya tulis mantra mereka, Ahok kalah karena dicurangi. Inilah sihir yang belakangan terus-menerus dihembuskan ke ruang publik lewat berbagai saluran media mereka. Baik media mainstream maupun jagat maya.

Menurut mereka, seandainya majikannya tidak dicurangi, tentu si politisi kutu loncat itu akan memenangi Pilkada dan kembali memimpin DKI sebagai gubernur. Sampai di sini para Ahoker sepertinya lupa.

Pertama, Ahok tidak pernah memenangi Pilkada. Pada 2012, dia hanya nunut Jokowi yang menjadikannya sebagai Cagub. Itu artinya… penduduk Jakarta waktu itu memilih Jokowi, bukan (dengan huruf tebal) Ahok.

Amnesia Ahokers yang kedua, Ahok tidak pernah memimpin Jakarta. Selama hampir tiga tahun terakhir, dia hanya menggantikan (dengan huruf tebal lagi) Jokowi yang pindah kantor dari Jalan Merdeka Selatan ke Jalan Merdeka Utara sebagai Presiden Republik Indonesia.

Artikel ini ditulis oleh: