Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian - Polisi kawal unjuk rasa 4 November. (ilustrasi/aktual.com - foto/antara)
Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian - Polisi kawal unjuk rasa 4 November. (ilustrasi/aktual.com - foto/antara)

Jakarta, Aktual.com – Sekretaris Jenderal Himpunan Masyarakat Untuk Kemanusiaan dan Keadilan (HUMANIKA), Sya’roni, tidak habis pikir dengan adanya pernyataan upaya makar dari Aksi Bela Islam III atau Aksi 212 yang rencananya digelar 2 Desember mendatang.

“Dimunculkannya isu makar dalam menghadapi aksi 2 Desember 2016 sangat kontraproduktif dalam upaya menciptakan kondusifitas di tengah masyarakat,” terangnya kepada Aktual.com, Selasa (22/11).

Menurutnya, indikasi adanya upaya makar yang disampaikan Kapolri Jenderal Tito Karnavian sangat lemah dan tidak berdasar. Apalagi, sejak awal Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI (GNPF MUI) menekankan bahwa aksi 2 Desember dilakukan super damai.

Dengan tuntutan satu, tahan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang dinilai telah menistakan agama Islam. Terlebih saat ini posisi Ahok sudah menjadi tersangka dalam kasus penistaan agama.

Semestinya, kata Sya’roni, aparat kepolisian merespon tuntutan umat Islam dengan segera menahan Ahok. Sebab tidak kali ini saja penista agama langsung ditahan, sudah banyak contohnya. Dari Lia Eden, Ahmad Musadeq hingga Permadi, mereka langsung ditahan.

Ditambahkan, GNPF MUI terpaksa turun ke jalan karena dari awal ragu akan netralitas aparat penegak hukum. Dari pernyataan Kapolri sebelum aksi 4/11, dimana Polri tidak secara cepat merespon laporan masyarakat.

Akhirnya, aksi sejuta umat tumpah di depan istana yang akhirnya mampu mendorong Polri menetapkan Ahok sebagai tersangka. Sayangnya, Ahok tidak segera ditahan sebagaimana para penista agama lainnya.

“Oleh karena itu sangat wajar bila GNPF MUI bermaksud untuk kembali turun ke jalan,” jelas Sya’roni.

Aksi demonstrasi yang akan dilakukan oleh GNPF MUI juga dinilainya sudah sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Respon Kapolri sangat berlebihan dengan menuduhnya ada upaya makar.

Bahkan dengan dalih mengganggu ketertiban umum dan mengganggu aktivitas warga, akhirnya melarang aksi gelar sajadah pada 2 Desember 2016.

Bila dirunut ke belakang, lanjut Sya’roni, pengerahan massa dalam jumlah yang besar dan yang akhirnya menutup akses jalan protokol Sudirman dan Thamrin tidak semata dilakukan GNPF MUI. Pendukung Presiden Jokowi pernah melakukannya saat pelantikan Presiden Jokowi pada 20 Oktober 2014.

Saat itu, Polri sangat bersahabat mengamakan acara yang dikemas dalam tajuk ‘Pawai Rakyat’ tersebut. Polri juga menyarankan bagi warga lainnya untuk mencari jalan alternatif lain karena jalan protokol dari Semanggi hingga Istana Merdeka ditutup mulai pukul 06.00 Wib.

Perlakuan yang sama mestinya didapatkan oleh GNPF MUI mengingat Polri adalah pengayom seluruh masyarakat.

“Bila Polri bisa begitu bersahabat dengan para pendukung Presiden Jokowi, maka seharusnya juga bisa bertindak yang sama kepada GNPF MUI. Perlakuan yang diskrimanatif hanya akan mengundang stigma negatif terhadap institusi Polri,” urainya.

Masih terkait tuduhan makar, Humanika mendesak Polri menjelaskan secara gamblang kepada siapa ditujukan. Bila perlu segera tunjuk pelakunya.

“Bila hanya menuduh tanpa disertai bukti yang jelas, hanya akan menimbulkan kegaduhan baru di tengah masyarakat,” pungkasnya.

Laporan: Soemitro

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Nebby