Jakarta, aktual.com – Ketika Presiden Joko Widodo menyampaikan visi Poros Maritim pada tahun 2014 sebagai strategi besar pembangunan bangsa, sebenarnya yang dilakukan presiden adalah melanjutkan visi kemaritiman Djuanda Kartawidjaja dan Mochtar Kusumaatmadja ke tingkat global. Visi yang dahulu telah lama dilupakan oleh generasi ke generasi ini, bak hilang di tingkat pemangku kepentingan, maupun kita sendiri sebagai elemen-elemen dalam masyarakat.

Dari perspektif Hubungan Internasional, Poros Maritim jelas mendukung pembentukan konektivitas regional yang terkandung dalam Komunitas ASEAN. Ini bertujuan untuk menciptakan integrasi ekonomi dalam menghadapi perdagangan bebas antar negara. Visi tersebut juga mencakup penegasan batas kedaulatan bangsa. Sebagai bangsa kepulauan, Poros Maritim sangat penting untuk diimplementasikan.

Visi tersebut berhasil memetakan lemahnya infrastruktur maritim Indonesia yang belum memadai untuk mengikuti kebutuhan maritim global yang masif secara kapasitas, juga cepat secara durasi pelayanan. Untuk mengejar ketertinggalan, Presiden telah melakukan pengembangan pelabuhan non-komersial di 104 lokasi, 11 diantaranya dalam tahap penyelesaian di tahun 2018. Selain itu, terdapat, 13 Proyek Strategis Nasional (PSN) di bidang kepelabuhan, termasuk Pelabuhan Kuala Tanjung, Pelabuhan Bitung, Patimban, Sorong, Kupang hingga Inland Waterways Cikarang-Bekasi-Laut Jawa.

Namun, ada satu pelabuhan yang nasibnya terkatung-katung dan luput dari sorotan kita, yaitu dermaga Pelabuhan Marunda, Jakarta Utara, yang kini terhenti lantaran kisruh internal pengelola, antara PT Kawasan Berikat Nusantara (KBN) dan PT Karya Citra Nusantara (KCN), yang merupakan usaha bersama dengan pemilik modal, yaitu PT Karya Teknik Utama (KTU). Motifnya belum diketahui. Namun, kesiapan Pelabuhan Marunda tak kunjung sesuai dengan yang diharapkan.

Sebagai catatan, KTU telah memenangkan tender pengembangan kawasan C01 Marunda yang digelar KBN pada 2004. Setahun kemudian, KTU dan KBN bersepakat membentuk usaha patungan dengan restu Kementerian BUMN. Sesuai perjanjian, KBN mendapat porsi kepemilikan di angka 15 persen. Sisa 85 persen merupakan tanggung jawab KTU sebagai pemodal yang bertugas melaksanakan pembangunan.

Masalah muncul pada November 2012, dimana KBN meminta revisi komposisi saham menjadi 50,5 persen untuk KBN dan 49,5 persen untuk KCN. Namun, KBN tak mampu menyetor modal hingga batas waktu yang ditentukan. Sebab itu, komposisi saham kembali lagi ke awal. Sementara, proses pembangunan pier satu Pelabuhan Marunda terus berjalan hingga selesai. Bahkan, Kementerian Perhubungan sudah menunjuk KCN untuk melakukan konsesi kegiatan pengusahaan jasa kepelabuhan pada terminal KCN di Marunda pada September 2016, yang dilanjutkan dengan penandatanganan perjanjian konsesi antara regulator dan KCN.

Namun setelah pembangunan pier satu selesai, KBN malah memperkarakan KTU dan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) ke pengadilan. Perkaranya adalah izin yang diterbitkan Kemenhub untuk KCN dinilai tidak valid. Padahal sang mitra sudah mengucurkan triliunan rupiah untuk pengembangan pelabuhan Marunda. Dalam kasus ini, investor swasta yang mendukung jalannya program pemerintah malah dirugikan dan seakan dipolitisasi. Hal ini menjadi pukulan telak bagi visi Poros Maritim. Kepastian hukum sangat diperlukan agar mitra swasta dapat berkontribusi di Indonesia tanpa rasa takut.

Menurut penilaian Bank Dunia yang tercantum di laporan Doing Business 2019: Training for Reform, tingkat kemudahan berbisnis di Indonesia menurun dari peringkat 72 pada tahun lalu menjadi peringkat 73 pada tahun ini. Turunnya peringkat ease of doing business di Indonesia sungguh menjadi sebuah ironi untuk pemerintah. Lalu, kemanakah bahtera ambisius Poros Maritim akan berlayar dan bersandar bila kondisi investasi masih seperti ini? Apakah kompas kita mengarah ke poros magnet yang sesungguhnya, atau malah menuju ke pelabuhan hasil rekayasa segelintir oknum?

Makna strategis Pelabuhan Marunda sejatinya diharapkan sebagai pendukung ketika pelabuhan Tanjung Priok mengalami kelebihan kapasitas pelayanan dan lalu lintas bongkar muat di masa depan. Pelabuhan Marunda dapat menjadi wadah tangkap bagi limpahan (spillover) yang akan tercipta.

Oleh karena itu, carut marut yang terjadi di Marunda perlu diselesaikan secepatnya. Keberadaan dan peran Pokja IV Satgas Kebijakan Ekonomi harus ditingkatkan dan diperjelas, sehingga bukan hanya menjadi sebagai representasi pemerintah saja, tapi mampu menjadi forum yang obyektif dalam melihat permasalahan yang merusak proses kerjasama swasta-pemerintah yang telah berjalan.

Berikutnya, Kementerian BUMN juga perlu melakukan tinjauan terhadap langkah yang dilakukan oleh KBN yang melayangkan gugatan terhadap mitra swastanya, serta menginvestigasi apakah keputusan tersebut dilakukan atas dasar kepentingan nasional, atau kelompok tertentu. Tinjauan tersebut bisa menjadi poin pembahasan di Rapat Terbatas atau Pertimbangan Presiden.

Sudah selayaknya Poros Maritim dijaga secara bersama oleh seluruh elemen bangsa dengan mengesampingkan kepentingan-kepentingan sektoral, apalagi pribadi. Pemerintah pusat hendaknya menjadi orkestrator tunggal yang harus didukung demi terciptanya Poros Maritim. Kita sebagai bangsa dapat mengambil manfaat langsung, maupun tidak langsung dari visi tersebut.

Penulis: Rizki Ananda Ramadhan, Pengamat Studi Pertahanan Kemaritiman, Universitas Padjajaran.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Zaenal Arifin