Heboh seputar peringatan Prabowo Subianto bakal bubarnya Indonesia 2030 merujuk pada novel Ghost Fleet memang sudah berlalu. Namun saya terusik dengan pernyataan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi dan mantan menteri pertahanan era Presiden Gus Dur, Mahfud MD. Dalam tayang ulang ILC yang dipandu Karni Ilyas minggu malam lalu Prof Mahfud bilang “ini gimana pak prabowo dan pak jokowi dah rangkulan dan naik kuda bareng. Tapi kok para pendukungnya terus bersitegang. Prof Mahfud bicara dalam konteks mengomentari Ghost Fleet Prabowo yang menghebohksn itu.
Meski ada benarnya tapi pak prof agaknya mengabaikan satu hal. Yaitu tanda tanda zaman. Pasang naik kebangkitan Islam yang bersenyawa dengan kesadaran nasional begitu kuat saat ini.
Dalam bingkai kesadaran seperti ini para elit sama sekali tidak memainkan peran yang menentukan. Sebaliknya, para elit justru harus menyelaraskan diri dengan semangat dari gelombang pasang naik tersebut.
Gelombang pasamg tadi terbukti lebih kuat. Pada tataran ini prof mahfud seharusnya menyadari bahwa Aksi Bela Islam 411 dan 212 jalan terus meski kedua kontrstan pilpres 2014 itu bertemu beberapa kali dan naik kuda bareng.
Sebab gelombang pasang ini bukan komando elit. Maka ketika soal ghost fleet dikerdilkan seakan yang mendesak adanya kewaspadaan nasional identik mendukung prabowo. Baiknya ganti kacamata atau lensa kamera dulu. Termasuk pak prof Mahmud. Sebab dalam bingkai gelombang pasang ini bukan persoalan pokok bukan pada pribadi Prabowo atau Jokowi. Gelombang pasang naik tersebut merupakan titik-temu berbagai perasaan dan pikiran bawah sadar kolektif seluruh masyarakat Indonesia.
Dalam situasi demikian bahwa peristiwsa gelombang demonstrasi besar-besaran pada Aksi Bela Islam 414 maupun 212 sejatinya hanya faktor pemicu atau pemantik. Adapun prakondisi yang mendasarinya adalah bingkai Gelombang Pasang Naik Kebangkitan Solidaritas Islam dan Kesadaran Nasional.
Inilah yang pernah disinggung oleh Bung Karno dalam serangkaian tulisan-tulisannya baik sebelum maupunb sesudah kemerdekaan NKRI. Bahwa para pemimpin nasional dari berbagai lapisan masyarakat di tanah air, harus mengenali apa yang disebuat Imanansi Krachten. Kekuatan Rahasia Rakyat.
Kekuatan Rahasia Rakyat inilah yang luput dari penglihatan Prof Mahfud MD, sehingga ketika mengulas soal peringatan Prabowo terkait Indonesia bubar 2030, memandang kontroversi tersebut semata dalam linbgkung perseteruan pendukung pro Prabbowo versus pro Jokowi.
Padahal seperti halnya peristiwa Bela Islam 212 yang baru lalu, kontroversi Indonesia bubar 2030 merujuk pada novel Ghost Fleet karya PW Singer dan August Cole, mengandung intisari persoalan yang sama. Mulai tumbuh-kembangnya lagi kesadaran nasional yang bersifat massif di berbagai lapisan masyarakat Indonesia, bahwa negeri kita sedang terjajah oleh asing di bidang politik, ekonomi, hukum dan sosial-budaya. Sehingga sebagai anti-tesanya, muncul suatu dorongan untuk membangun suatu solidaritas nasional yang solid dan mengakar.
Pada tataran ini, solidaritas Islam yang sejak era perjuangan kemerdekaan melawan Portugis dan Belanda, selalu menjadi tulangpunggung perjuangan bersenjata mengusir penjajah, maka saat ini pun secara alamiah kembali berusaha membangun formasinya.
Ada yang bilang bahwa Aksi Bela Islam ala 212 tak mungkin terulang kembali karena hakekatnya itu bersifat situasional karena dipicu oleh pernyataan Gubernur Jakarta Ahok terkait Surat al-Maida 51. Dan kasus ini sudah berlalu. Benar karena 414 atau 212 hanya faktor pemnantik. Namun dalam bingkai gelombang pasang naik kebangkitan solidaritas Islam dan kesadaran nasional, hal seperti itu tidak akan terbendung. Gelombang pasang naik ini merupakan tanbda-tanda zaman yang harus dikenali betul trend dan kecenderungannya ke depan.
Ada beberapa kalangan yang sinis pada fenomena ini, lantas berkata bahwa ini merupakan isyarat kemunculan kekuatan politik berhaluan kanan. Ini jelas merupakan kedangkalan dalam membaca tanda-tanda zaman. Fenomena 414 dan 212 sebagai ekspresi kebangkitan solidaritas Islam, jelas merupakan kenaifan dan kedangkalan jika memandang fenomena ini sebagai gerakan kelompok kanan. Sebab sebagai ekspresi solidaritas Islam, maka gerkaan 414 dan 212 sejatinya merupakan gerakan lintas-mahzab di dalam internal umat Muslim. Islam tradisional, modern, NU, Muhammadiyah, PKS, Wahabi, semua menyatu dan bersenyawa dalam peristiwa bersejarah tersebut. Tanpa ada komando atau rekayasa.
Kalau ini disebut gerakan kelompok kanan, pastilah dari semula gerakan ini merupakan monopoli kelompok tertentu. Namun dalam kejadian tersebut sama sekali tidak seperti itu format pergerakannya.
Menerka dan mengenali apa keinginan rakyat yang tersirat, itulah tantangan besar bagi para pemimpin nasional kita dari berbagai tingkatan baik pusat maupun daerah, dalam beberapa tahun ke depan.
Sebab gelombang pasang naik kebangkitan solidaritas Islam dan kesadaran nasional, pada perkembangannya akan seiring dengan pasang surut dan kebangkrutan para elit politik nasiona di semua tingtkatan, pusat dan daerah. Parpol maupun non-parpol.
Marilah kita mengenali tanda-tanda zaman.
Hendrajit, redaktur senior.