Jakarta, Aktual.com — Direktur Eksekutif Institut Pemberdayaan Perempuan dan Anak Indonesia, Ninik Rahayu mengatakan, bahwa pemberlakuan Qanun Jinayat atau peraturan daerah Aceh tentang hukum pidana Islam menjadi preseden baru dalam sejarah di dalam negeri.

“Jika berbicara tentang diksriminasi terhadap kaum perempuan, maka Qanun Jinayat adalah salah satunya,” ujar Ninik saat ditemui di Jakarta, Rabu (11/11).

Dia menuturkan, diskriminasi tersebut dapat dikategorikan dalam tiga hal. Pertama, memberlakukan sebuah bentuk penghukuman yang tidak manusiawi dan melawan hukum nasional, yaitu hukuman rajam.

Kedua, melakukan kriminalisasi terhadap pergaulan dan hubungan pribadi antara pasangan dewasa.

Ketiga, menghilangkan perlindungan hukum bagi perempuan korban kekerasan seksual, sebagaimana yang telah dijamin oleh UU nasional.

“Dalam mengimplementasikan suatu wawasan Nusantara memang ada banyak, misalnya UU Politik, UU Pemilu, UU Pilpres, atau bahkan Qanun Jinayat. Tapi semua harus tetap patuh pada konstruksi hukum nasional,” tukas Ninik.

Peraturan daerah merupakan produk dari otonomi daerah yang menjadi salah satu ujung tombak dalam berdemokrasi, dengan tujuan mewujudkan bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.

Kebijakan desentralisasi tersebut juga telah diatur dalam UUD 1945 yang memberikan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah agar memiliki kemandirian dalam memajukan masyarakatnya.

UU Pemerintahan Daerah juga menegaskan bahwa pembuatan perda dapat dilakukan untuk kebijakan kriminalisasi, seperti tertuang dalam Pasal 15 ayat 2 UU No. 12 Tahun 2011 dan Pasal 143 ayat 2 yang menyatakan bahwa perda dapat memuat ancaman pidana, baik kurungan maupun denda.

Artikel ini ditulis oleh: