Jakarta, Aktual.com – Indonesia memasuki episode politik simulacra. Politik yang diproduksi oleh sebuah industri komunikasi massa yang mengaburkan fakta melalui konstruksi realitas semu secara masif. Sebuah episode industri politik yang menghadirkan pemimpin melalui proses pencitraan yang masif. Simulacra adalah sebuah terminologi Jean Baudrillard (1929-2007), seorang sosiolog politik Prancis ketika menggambarkan realitas semu. Bagi Jean Baudrilllard dalam bukunya Simulacra and Simulation (1981), manusia abad kontemporer hidup dalam dunia simulacra (gambar atau citra ). Manusia saat ini hidup dalam dunia yang penuh dengan simulasi, hampir tidak ada yang nyata di luar simulasi, tidak ada yang asli yang dapat ditiru. Kebudayaan industri menyamarkan jarak antara fakta dan informasi, antara informasi dan entertainment, antara entertainment dan kepentingan politik. Masyarakat tidak sadar akan pengaruh citra (signs/simulacra), hal ini membuat masyarakat kerap kali– mencoba hal yang baru yang ditawarkan oleh keadaan simulacra– untuk membeli, bekerja, dan lain-lain termasuk misalnya untuk memilih Presiden, Gubernur, Walikota, maupun Bupati.

Di tengah kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang dahsyat saat ini, realitas telah hilang dan kebenaran seringkali manguap. Realitas tidak hanya diceritakan, direpresentasikan, dan disebarluaskan, tetapi kini dapat direkayasa, dibuat dan dicitrakan. Realitas buatan ini bercampur-baur, silang sengkarut menandakan datangnya episode baru dinamika manusia topeng. Simulacra telah mengaburkan dan mengikis perbedaan antara yang nyata dengan yang imajiner, yang benar dengan yang palsu. Maaf jika terpaksa saya harus sebutkan bahwa Jokowi adalah contoh menarik produk politik simulacra yang patut dikupas.

Jokowi ‘Manusia Suci’ Produk Simulacra
Dua tahun lalu Jokowi hadir sebagai pemimpin mekanik (produk simulacra), bukan pemimpin organik (produk alamiah). Sebagai pemimpin mekanik, kehadirannya telah memutus mata rantai munculnya pemimpin dari kalangan darah biru dan feodal. Kehadiran Jokowi memutus dominasi keluarga dan koneksi dari ‘Cendana’, ‘Teuku Umar’, dan ‘Cikeas’. Spirit demokrasi yang meluas pada dua tahun lalu bersatu dengan spirit memutus mata rantai pemimpin dari kalangan darah biru dan feodal.

Posisi itulah yang membuat Jokowi direspon oleh kelompok kritis dari lapisan sosial baru yang non keluarga dan non koneksi ‘Cendana’, ‘Teuku Umar’ dan ‘Cikeas’. Mereka dulunya aktivis kritis tetapi karena bukan darah biru maka mobilitas vertikalnya mengalami hambatan. Kehadiran Jokowi seperti jawaban dari problem penderitaan mobilitas vertikal politik kelompok itu. Menariknya respon tersebut seiring berjalanya waktu terjadi secara berlebihan bahkan terkadang sering kehilangan nalar kritisnya. Jokowi diposisikan mendekati ‘orang suci’ atau seolah-olah suci. Karena diposisikan mendekati ‘orang suci’ maka seluruh perilaku dan kebijakanya diyakini sebagai perilaku dan kebijakan ‘orang suci’. Jokowi diposisikan tidak pernah bersalah, orang – orang disekitarnyalah yang salah. Cara pandang dan konstruksi sosial demikian itulah yang kemudian memberi ruang terbuka bagi Jokowi melakukan tindakan apapun dianggap benar, termasuk terkait dengan perundang-undangan. Ini mungkin yang dinilai sebagai ‘ hukum bisa dikaburkan’ oleh kekuasaan.

Contoh hukum bisa dikaburkan diantaranya adalah hukum pajak, yang secara konstitusional (UUD 1945) membayar pajak itu  hukum nya wajib bagi setiap warga negara atau lembaga yang menjadi subyek hukum wajib pajak, tetapi di era  rezim Jokowi-JK ini hukum wajib membayar pajak tersebut menjadi kabur setelah para wajib pajak yang kewajiban pajaknya milyaran atau triliunan diampuni hanya membayar 2 % saja. Ini dilakukan melalui UU pengampunan pajak ( Tax Amnesty). Undang-undang tercepat dibuat dan termahal sepanjang sejarah republik.

Contoh lainya adalah PP 78 tahun 2015, PP tersebut bertentangan dengan UU No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Dalam Undang Undang tersebut dikemukakan bahwa penetapan upah minimum dilakukan oleh kepala daerah berdasarkan rekomendasi dewan pengupahan yang terdiri atas perwakilan pengusaha, buruh, dan pemerintah. Tetapi di PP 78 tahun 2015 yang dibuat Jokowi – JK disebutkan bahwa besaran upah minimum pada tahun tertentu dihitung berdasarkan formula upah minimum tahun sebelumnya ditambah {upah minimum tahun sebelumnya dikali (inflasi tahun sebelumnya ditambah angka pertumbuhan ekonomi tahun sebelumnya)}. Ini secara sistemik menguntungkan pemilik modal dan terus membuat buruh miskin. Ini pengaburan makna UU no 13 tahun 2003. Izin perpanjangan ekspor konsentrat PT Freeport Indonesia juga melanggar UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba. Dasar hukum izin tersebut berupa Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri (Permen) ESDM. UU No 4 tahun 2009 telah dikaburkan makna dan implementasinya.

Contoh lain misalnya di DKI Jakarta, tentang dugaan korupsi pembelian sebagian lahan Rumah Sakit Sumber Waras, Jakarta Barat oleh Pemprov DKI Jakarta, beberapa waktu lalu. Meski Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) telah mengaudit dan menyatakan terdapat kerugian negara akibat pembelian sebagian lahan tersebut. Tidak ada kabar mengenai tindaklanjut kasus tersebut. Padahal, kasus itu telah ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK membuka peluang untuk publik menyimpulkan bahwa KPK mengaburkan makna penegakan hukum.

Pertanyaanya adalah mengapa Anggota DPR diam ketika Undang-Undang dikaburkan implementasinya atau dilanggar Presiden? Mengapa KPK tidak merespon serius data BPK? Jawabanya adalah karena DPR dan KPK juga sama-sama produk Simulacra politik. Bukankah anggota DPR dikendalikan Ketua umum partai? dan ketua umum partai politik sudah gemar bermain simulacra dengan Presiden? Bukankah KPK dibuat melalui tim seleksi yang diangkat presiden? dan calon komisioner KPK harus melalui fit and proper test yang dilakukan DPR? Lalu apakah anggota DPR yang melakukan fit and proper test bebas dari intervensi ketua umum partai? Pada saat yang sama DPR dan KPK takut dibully oleh pasukan simulacra (semu) yang gemar memproduksi akun ganda jamak yang siap menyerang setiap langkah kritik terhadap Presiden. Situasi simulacra ini pelan tapi pasti memunculkan ketidakpercayaan rakyat yang makin meluas pada Presiden, DPR, KPK dan pada para penegak hukum lainya.

Krisis di Depan Mata
Hal paling menyedihkan dari situasi ini adalah kehadiran Jokowi sebagai anti tesis dari dominasi keluarga dan koneksi ‘Cendana’, ‘Teuku Umar’ dan ‘Cikeas’ justru tidak membuat rakyat makin sejahtera tetapi lebih menguntungkan pemilik modal besar, faktanya lebih senang mengerjakan proyek proyek mega infrastruktur. Maka fakta ini membuktikan benarnya analisis bahwa yang terjadi saat ini adalah  politik simulacra yang dikendalikan pemilik modal besar. Demikian juga hukum, terjadi simulacra dalam penafsiran dan penegakkannya sebagaimana contoh dalam narasi diatas. Simulacra kebijakan ekonomi yang dibungkus dalam 14 paket kebijakan tidak berjalan sistematis, bahkan terkesan sporadis dan hanya jelas diatas kertas tetapi tidak jelas diimplementasi dan hasilnya. Sampai saat ini belum ada publikasi sistematis untuk mengukur keberhasilan paket kebijakan tersebut. Kebijakan nampak sebagai tameng simulacra yang dikemas apik. Ini situasi yang membuat mentri keuangan Sri Mulyani mengeluhkan denyut ekonomi nasional melemah.

Hiruk-pikuk respon Jokowi yang lamban terkait demonstrasi 4 November juga simulacra politik. Sejak reshuffle kabinet jilid 2 Jokowi mulai kehilangan keaslianya yang dulu ditunjukan pada dua tahun lalu saat masih memimpin Jakarta dan awal-awal menjadi Presiden. Saat ini Jokowi senang dengan agenda-agenda simbolik (simulacra). Mengajak rakyat ke istana untuk berdendang pada 28 oktober malam, bertemu Prabowo naik kuda bersama untuk secara simbolik diabadikan dan bebas ditafsirkan publik, meninggalkan istana saat jutaan rakyat ingin bertemu dan lebih senang simbolik mengunjungi proyek kereta bandara, mengundang ulama di istana, mendadak ke mabes tentara, markas Kopassus, markas brimob dan marinir. Itu semua adalah simulacra sebab realitas sebenarnya yang terjadi pada bangsa ini tidak ditangani secara lebih serius misalnya terkait kesenjangan sosial ekonomi. Jika problem kesenjangan sosial ekonomi ini tidak direspon dan tidak ditangani dengan baik, maka kita sedang menuju situasi krisis yang dapat membahayakan republik ini.

Saat ini kesenjangan antara si kaya dan miskin angkanya justru meningkat. Sebagai catatan untuk dicermatii bahwa dua tahun sebelum pecahnya ledakan kerusuhan berbasis rasial pada tahun 1998 rasio gini berada diangka 0,35. Coba bandingkan dengan saat ini, rasio gini per Maret 2016 tercatat 0,39. Artinya kesenjangan justru makin melebar dan mengkhawatirkan. Jakarta sebagai miniatur Indonesia patut dicermati. Rasio gini Jakarta kini sebesar 0,41 tergolong tinggi dibanding daerah lainnya. Angka ini belum melihat kesenjangan pendapatan di wilayah Jakarta Utara yang sempat rusuh pada 4 novembet lalu. Gambarannya sangat sederhana. Rumah mewah berdiri tegak di Pluit sementara itu  dua tahun terakhir banyak warga miskin yang mengalami penggusuran dan kehilangan pekerjaan. Aktivitas ekonomi yang timpang dapat memicu situasi sosial yang tidak menguntungkan bagi nrgara. Kesenjangan memang ibarat bom waktu, terlebih perekonomian sedang mengalami kelesuan. Lapangan pekerjaan terus menyusut seiring dengan fenomena deindustrialisasi atau menurunnya porsi industri manufaktur terhadap total PDB. Saat ini porsi industri hanya dikisaran 20% dari total perekonomian. Jumlah perusahaan besar dan sedang juga mengalami penurunan tajam dari 25.694 di 2008 menjadi 23.744 perusahaan di 2014 (Bhima Yudistira, Indef, 2016). Jangan lupa juga Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) telah terjadi pada puluhan ribu buruh, pengangguran lulusan SMK yang mencapai 1.3 juta (BPS,2016) juga fakta yang tidak bisa diabaikan begitu saja ditutupi dengan simulacra politik.

Melemahnya nilai tukar rupiah hingga 13.485 per US dolar pada 11 November 2016 dan tidak banyak yang bisa dilakukan BI dalam mengendalikan nilai tukar menunjukan posisi rupiah seperti tanpa kendali stabilitas (Kusfiardi,Puspol Indonesia,2016).Utang luar negeri yang terus membengkak juga problem yang terus membebani APBN.  Hingga akhir September 2016, total utang pemerintah pusat tercatat Rp 3.444,82 triliun. Naik Rp 6,53 triliun dibandingkan akhir Agustus 2016, yaitu Rp 3.438,29 triliun. Mengutip data Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan (Oktober,2016), total pembayaran cicilan utang pemerintah pada Januari hingga September 2016 adalah Rp 398,107 triliun. Sekitar awal Desember nanti pemerintah memerlukan kurang lebih 80 Triliun untuk melanjutkan proyek infrastruktur, kecenderunganya pemerintah cukup kesulitan untuk mendapat suntikan pinjaman. Geopolitik internasional pasca terpilihnya Donald Trump menjadi Presiden Amerika Serikat juga turut mempengaruhi situasi ekonomi global yang juga berdampak pada Indonesia. Ini sesungguhnya situasi berbahaya bagi kondisi ekonomi Indonesia.

Pada saat yang sama tensi sosial (social tention) bangsa ini sedang meninggi akibat peristiwa pulau seribu 29 september yang mendorong demonstrasi besar jutaan rakyat pada 4 november 2016 lalu. Ketegangan diantara elit politik juga nampak meninggi pasca pernyataan Presiden Jokowi yang menyebut ada aktor politik dibelakang demonstrasi 4 november. Rakyat sesungguhnya sudah “muak” dipertontonkan dengan berbagai perilaku politik simulacra (maaf terpaksa saya gunakan kata “muak” karena itulah bahasa yang diekspresikan rakyat). Realitas problem sosial, ekonomi dan politik yang sedemikian kompleks sebagaimana dijelaskan di atas tidak bisa dijawab Jokowi dengan simulacra politik, hentikanlah politik simulacra itu, politik pencitraan sudah waktunya berakhir. Tentu realitas ini telah menjadi beban Jokowi yang hanyut terbuai bersama simulacra politik. Mampukah Jokowi mengelola dan mengatasi situasi berat ini? Jika tidak berhasil maka krisis pada skala yang lebih berat akan hadir di depan mata. Semoga itu tidak terjadi.

Ditulis oleh: Ubedilah Badrun,
Analis Sosial Politik UNJ, Direktur Eksekutif Puspol Indonesia.