Ratusan nelayan dari berbagai wilayah melakukan aksi penolakan Reklamasi Teluk Jakarta, di Pelabuhan Muara Angke dan di Pulau G, Jakarta Utara, Minggu (17/4/2016). Dalam aksinya mereka menuntut agar seluruh proyek reklamasi di teluk Jakarta dihentikan dan Keppres No. 52 Tahun 1995 dan Perpres 54 Tahun 2008 yang melegitimasi proyek reklamasi dicabut.

Jakarta, Aktual.com — Koordinator Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng, menyorot proyek reklamasi pulau di Teluk Jakarta yang akan menghabiskan Rp500 triliun lebih hanya akan didanai oleh utang. Dua pengembang besarnya, PT Agung Podomoro Land Tbk dan PT Lippo Karawaci Tbk malah dililit utang besar.

“Entah darimana para pengembang itu akan mendapatkan uangnya. Namun yang jelas, proyek itu semata-mata untuk menyediakan landasan baru bagi akumulasi utang sektor properti,” tandas dia Daeng, kepada Aktual.com, Sabtu (7/5).

Menurut Daeng, proyek milik Gubernur DKI Basuki Tjahja Purnama alias Ahok ini di atas tanah negara tersebut selama ini dikampanyekan dapat memperkuat lagi sektor properti yang tengah terjun bebas. Padahal hal tersebut, dianggapnya, sangat tidak mungkin dikarenakan dua hal.

Pertama, sumber uang dari digadang-gadang dipinjam dari China, justru tidak akan mungkin mereka peroleh. Pasalnya, Negeri Tirai Bambau itu, tengah membutuhkan dana besar untuk menolong dirinya sendiri. “Karena China sendiri masih akan menolong utang publiknya sendiri yang mencapai USD 28,2 triliun,” tandasnya.

Faktor kedua, sumber dari dalam negeri yang diharapkan dapat diperoleh dari pembelian sektor properti tidak mungkin mereka dapatkan. Sebab tidak banyak konsumen domestik yang mau membeli bangunan di atas tanah negara dengan status hak pakai.

“Sehingga, proyek-proyek yang sedang dikampanyekan hanyalah menunda kebangkrutan para naga properti tersebut,” jelas dia.

Padahal, selama ini sektor properti yang telah menopang ekonomi rezim Jokowi-JK-Ahok, dan tak lepas dari peran dua raksasa pengembang properti, Lippo dan Podomoro. “Namun mereka justru menumpuk utang yang besar dan memaksakan diri dalam proyek-proyek yang ambisius,” tandasnya.

Menurut Daeng, di 2015 kemarin, seluruh keuntungan yang dihasilkan Lippo, ternyata disapu bersih oleh kewajiban utangnya. Menurut data yang didapatnya, pihak perusahaan salah satunya, mengalami kerugian kurs sebesar Rp786 miliar terhadap obligasi korporasi yang diterbitkannya.

Sama juga dengan Agung Podomoro. Kata dia, meski memiliki aset besar, namun perusahaan ini menderita ‘pendarahan’ berat di 2015 lalu. Pasalnya, perusahaan mengalami negatif cash flow akibat utang besar yang mendekati 100 % terhadap ekuitas perusahaan.

“Jadi minus cash flow perusahaan mencapai 1.44 triliun rupiah. Mereka sudah terperosok sangat dalam,” pungkasnya.

Artikel ini ditulis oleh: