Kredibilitas Direksi Garuda Diuji
Meskipun terus mengalami kinerja yang buruk dan kerugian besar tiap tahunnya, Garuda justru jor-joran dalam pembelian pesawat-pesawat yang tidak diperlukan serta logistik. Ditambah gaji fantastis bagi jajaran direktur Garuda yang mencapai Rp 20 miliar hingga gaji pilot yang bisa sampai ratusan juta ikut menguras keuangan perusahaan. Pencapaian positif yang disampaikan pihak Garuda hanyalah penampakan permukaan gunung es alias capaian kecil namun dibesar-besarkan. Pihak Garuda tidak jujur dan terbuka kepada publik terkait masalah yang lebih besar dan mengendap yang diderita Garuda bahkan terkesan disembunyikan.

Koordinator Investigasi Center for Budget Analysis (CBA) Jajang menyarankan perlu perombakan besar-besaran dalam manjemen dan struktur pejabat Garuda. Jangan sampai Garuda diisi oleh orang orang yang tidak kredibel dan hanya akan memperpanjang derita kerugian negara yang terburuk sampai bangkrut. Akan menjadi langkah baik juga jika dirut Garuda Pahala Nugraha Mansury diganti dengan yang lebih baik, serta 8 direksi yang kebanyakan dikurangi agar lebih efisien.

“Akar permasalahan atau biang keladi kerugian garuda ini ada di ketidakmampuan atau kompetensi direktur utama Garuda dalam mengelola bisnis penerbangan yang kian ketat,” tegasnya.

Garuda Indonesia (Foto: IDX))
Garuda Indonesia (Foto: IDX))

Analis pasar modal, Reza Priyambada mengatakan frekuensi masyarakat yang semakin tinggi menggunakan pesawat terbang merupakan pangsa pasar buat pertumbuhan pendapatan Garuda Indonesia yang berkode saham GIAA.

“Penambahan rute dan sharing rute dengan sejumlah maskapai untuk penerbangan internasional bisa juga dilakukan untuk menambah pendapatan GIAA. Tinggal bagaimana mengatasi jalan keluarnya saja. Dengan merestrukturisasi utang dan memperbaiki sejumlah armada, diharapkan dapat meningkatkan rute dan lebih bisa bersaing dengan maskapai lainya,” jelasnya.

Mengingatkan kembali, sebagai maskapai penerbangan sipil, GIAA tentu harus memenuhi semua persyaratan keselamatan penerbangan. GI bukanlah “pabrik perkakas rumah tangga” yang bisa asal pilih BOD yang bertujuan meningkatkan produksi dan laba penjualan, tidak perlu memahami berbagai aturan penerbangan yang dikeluarkan oleh ICAO maupun yang diatur dalam UU No. 1 Tahun 2009.

GI sendiri bukan kali pertama dinahkodai oleh seorang bankir. Sejumlah bankir memang pernah menduduki posisi strategis di GI, sebut saja Robby Djohan (alm), Abdulgani, dan Emirsyah Satar. Tetapi kinerja mereka sendiri dikenal bukan bankir sembarangan, di bawah kepemimpinan mereka GI meraup untung.

Salah satu penyebab keberhasilan saat mereka menjadi Direktur Utama GI, karena selalu didampingi oleh Direktur Operasi dan Direktur Teknik yang berasal dari pilot aktif pesawat berbadan lebar, hal ini sesuai dengan persyaratan di CASR 121. Tetapi ironisnya baru kali ini GI tidak memiliki jabatan keduanya, tetapi hanya memakai nomenklatur Direktur Produksi dan Direktur Cargo.

Sejatinya sebuah maskapai penerbangan di Indonesia, penetapan BOD-nya mesti memenuhi persyaratan seperti yang diatur dalam CASR 121.61 tentang kualifikasi minimum personel setingkat Direksi. Pada poin c (1) jelas diatur bahwa seorang Direktur Operasi harus paham tentang isi manual operasi perusahaan penerbangan dan spesifikasi operasi.

Persyaratan lainnya, yakni seorang Direktur Operasi yang baru pertama kali menjadi Direktur Operasi harus memiliki lisensi sebagai pilot selama 6 tahun serta minimal selama 3 tahun terakhir menjadi pilot pesawat berbadan lebar sesuai dengan CASR 121 dan 135.

Sementara untuk Direktur Teknik diatur dalam CASR 121. 61 poin d. (1). Di mana untuk menjadi Direktur Teknik/Perawatan harus memiliki lisensi Aircraft Maintenance Engineer (AME) atau lisensi sejenis lainnya. Yang bersangkutan juga harus berpengalaman sekurang-kurangnya 3 tahun dengan jenis-jenis pesawat yang dipunyai maskapainya dan sekurang-kurangnya 1 tahun pernah menjadi supervisor.

Calon Direktur Teknik sendiri juga mesti paham sejumlah spesifikasi komponen dan manual teknis semua pesawat yang dioperasikan perusahaan. Singkatnya para calon BOD GI yang membawahi teknik dan operasi harus melalui proses fit and proper test oleh regulator (Kementerian Perhubungan) lantaran Kementerian Perhubungan sebagai kementerian teknis yang mengatur dan mengawasi jalannya operasi penerbangan sipil, bukan hanya atas persetujuan Kementerian Negara BUMN sebagai pemegang saham.

Terkait dengan masalah ini, Pengamat transportasi, Agus Pambagyo menyayangkan adanya pembiaran terhadap pelanggaran aturan atau regulasi dalam nomenklatur susunan Direksi Garuda Indonesia yang baru.

“CASR (Civil Aviation Safety Regulation) atau PKPS (Peraturan Keselamatan Penerbangan Sipil) menyebutkan bahwa Direktur Operasi dan Direktur Teknik adalah bagian dari Board, bukan pejabat Direktur,” sebut Agus. (Baca: Kemelut GI, Apa yang kau cari?)

Capt. Teddy Soekarno penasehat Federasi Pilot Indonesia mengatakan CASR adalah panduan sekaligus regulasi dan peraturan. Maskapai penerbangan dalam prakteknya tidak bisa disamakan dengan pengelolaan perusahaan lain. Persyaratan yang tertuang dalam CASR bukan soal pelanggaran hukum atau tidak, hal tersebut sudah jelas lebih kepada menetapkan seorang Dirut yang kapabel, berilmu, dan strategis dalam menjalankan misi maskapai.

“Bukan badut yang menjalankan misi BUMN saja. Yang pasti kalau terlambat dalam melakukan corrective action, bisa jadi melanggar hukum,” jelasnya.

Salah satu efek tak diberlakukannya CSAR di GI menyebabkan GI yang pernah meraih maskapai terbaik regional tetapi dibawah kepemimpinan Pahala malah terbelit sejumlah masalah, diantaranya terbelit utang.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka