Cianjur, Aktual.com – Berjalan mendaki menyusuri tiga punggungan bukit berhawa sejuk di antara pepohonan rindang di kaki Gunung Gede–Pangrango, Cianjur, Jawa Barat, pada ketinggian sekitar 1.000 hingga 1.200 meter di atas permukaan laut (mdpl) memberi ketenangan dan kesegaran tersendiri bagi jiwa dan raga.

Semak belukar setinggi lebih dari 60 centi meter (cm) bercampur dengan vegetasi tanaman empon-empon seperti sereh menjadi teman di trek setapak menanjak di antara pohon-pohon rindang endemik Gunung Gede–Pangrango seperti Rasamala (Altingia) yang mulai menjulang tinggi hingga 10 meter.

Sesekali langkah terhenti ketika bertemu tanaman berry liar yang sedang berbuah lebat. Rasa berry yang manis dan asam memberikan tenaga tambahan untuk melanjutkan trekking.

Siapa sangka sekitar tujuh tahun lalu, udara di jalur trekking bagian hutan pegunungan bawah Gunung Gede–Pangrango ini, yakni di punggungan Pasir Leutik, Pasir Tengah, dan Pasir Kidul tidak sesegar saat ini.

Menurut Tosca Santoso yang merupakan pendamping warga kawasan Sarongge dari Yayasan Prakarsa Hijau Indonesia, sekitar tujuh tahun lalu saat pertama datang ke Sarongge belum ada pohon-pohon endemik yang mulai rindang seperti saat ini. Lereng seluas 38 hektare (ha) tersebut masih berupa kebun-kebun sayur yang digarap warga Desa Ciputri, sehingga jalur tersebut jauh dari sejuk karena tidak ada pepohonan rindang.

Tidak heran jika saat melakukan trekking di tiga punggungan bukit ini masih terlihat beberapa tanaman buah seperti pisang dan jeruk bali sisa-sisa perkebunan di antara pohon-pohon endemik yang mulai menjulang tinggi.

Saat berhenti sejenak di jalur menuju salah satu mata air, Tosca mengungkapkan manfaat yang mulai dirasakan warga dari menghijaukan kembali tiga punggungan bukit tersebut. “Beberapa tahun terakhir, saat pohon-pohon adopsi sudah mulai tinggi, debit mata air ini menjadi stabil meski memasuki musim kemarau,” katanya.

Tosca menggambarkan apa yang terjadi tujuh tahun lalu saat lahan tersebut masih berupa kebun-kebun sayur dengan penggunaan pestisida yang tinggi. Air tidak tertahan di dalam tanah karena kadar organik menurun oleh berbagai senyawa kimia pencemar tanah yang presisten, sehingga menjadi kering.

Tidak heran jika debit sumber mata air di kaki Gunung Gede–Pangrango itu pun menurun, dan kekeringan mengancam warga desa di sana jika kondisi tersebut semakin dibiarkan.

Kekhawatiran itu bukan mengada-ada, karena selama trekking sejauh 1,5 kilometer (km) beberapa anak sungai yang dilalui tampak tidak berair. Dan petani-petani tetangga Desa Ciputri di kaki gunung yang sebelumnya dilewatipun telah menyalakan pompa-pompa air untuk bisa mengairi kebun-kebun sayur mereka yang mengering.

Bukan cuma debit mata air yang menjadi stabil setelah lahan seluas 38 ha yang termasuk dalam kawasan Taman Nasional Gunung Gede–Pangrango (TNGGP) tersebut kembali hijau. Beberapa jenis fauna yang terhitung langka dan endemik atau yang terancam punah seperti lutung surili (Presbytis comata) pun kembali terlihat di area tersebut, termasuk macan tutul (Panthera pardus).

“Yang sudah sangat susah ditemui di sini owa jawa (Hylobates moloch). Kalau lutung surili dan monyet ekor panjang atau Macaca fascicularis masih sering terlihat di sini,” kata polisi hutan TNGGP Ateng Tisna Jumena.

Mengubah Pola Pikir Pada 1978, Pemerintah menetapkan Cagar Alam (CA) Gunung Gede–Pangrango seluas 14.000 ha, melingkupi kedua puncak gunung beserta tutupan hutan di lereng-lerengnya. Pada 6 Maret 1980, cagar alam ini digabungkan dengan beberapa suaka alam yang berdekatan dan ditingkatkan statusnya menjadi Taman Nasional Gunung Gede–Pangrango, dan menjadi satu dari lima taman nasional yang pertama di Indonesia dengan luas keseluruhan 15.196 ha.

Dan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan nomor 174/Kpts-II/2003 tanggal 10 Juni 2003 tentang Penunjukan dan Perubahan Fungsi Kawasan Cagar Alam, Taman Wisata Alam, Hutan Produksi Tetap dan Hutan Produksi terbatas pada Kelompok Hutan Gunung Gede Pangrango, kawasan TN Gunung Gede Pangrango memperoleh tambahan area seluas 7.655,03 ha dari Perum Perhutani Unit III Jawa Barat, sehingga total luasannya kini menjadi 22.851,03 ha.

Area seluas lebih dari 7.000 ha yang berlokasi di tiga kabupaten, yakni Cianjur, Sukabumi, dan Bogor itu lah yang, menurut Ateng, tidak mudah dikembalikan ke dalam bentuk hutan sebagai bagian dari TNGGP karena sebelumnya telah digarap menjadi kebun-kebun sayur oleh warga di 64 desa di kaki Gunung Gede–Pangrango tersebut.

“Pelan-pelan masyarakat mengembalikan lahan mereka untuk dihijaukan lagi. Tapi tidak mudah juga membuat mereka mengerti dan mau menyerahkan lahan-lahan tersebut,” ujar Ateng.

Kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2013 ke Sarongge, menurut dia, membuat masyarakat sekitar mulai mau sedikit demi sedikit menyerahkan kembali lahan yang digarap menjadi kebun sayuran.

Program adopsi pohon yang Tosca tawarkan bersama rekan-rekannya melalui Yayasan Prakarsa Hijau Indonesia dan TNGGP kepada warga Desa Ciputri, Kecamatan, Pacet, Cianjur, Jawa Barat, kini jelas mulai mendatangkan perubahan. Hal yang mendasar adalah perubahan pola pikir 22 kepala keluarga (KK) yang tinggal di desa tersebut yang mulai memahami pentingnya pohon dan hutan.

Wawan Sudrajat yang akrab disapa Wawan Oting salah satu warga Desa Ciputri yang kini memimpin kelompok ekowisata Sarongge dalam diskusi bersama sejumlah wartawan di Saung Sarongge mengatakan kawasan seluas 38 ha tersebut kini benar-benar sudah bersih dari aktivitas garapan perkebunan warga.

“Sekarang pohon-pohonnya sudah tinggi lebih dari tujuh meter ditanam sejak 2008. Ada 155 petani yang keluar, tidak bercocok tanam lagi dari kawasan (TNGGP) sejak 2013,” ujar dia.

Syarif Abdul Karim yang menjadi pendamping warga Dusun Sarongge, Desa Ciputri, sekaligus Ketua Dewan Pengawas Koperasi Sugih Makmur Sarongge mengatakan pada awal proses beralih warga dari bertani dan menghasilkan dari ekowisata tidak mudah. Semua membutuhkan pengorbanan.

Kini setelah pohon-pohon adopsi mulai tinggi, kanopi pohon semakin rindang, tamu-tamu pun semakin ramai datang. Menurut Syarif, rata-rata setiap bulan 50 pengunjung datang untuk berkemah, melakukan trekking, dan tinggal di homestay yang disediakan menikmati udara sejuk pegununggan.

“Pada Festival Sarongge lalu jumlahnya cukup banyak, 70 pengunjung datang. Memang dibatasi sampai 70 pengunjung, takut nanti merusak tanaman di camping ground,” ujar dia.

Izin jasa ekowisata yang diberikan TNGGP kepada Koperasi Sugih Makmur milik mantan petani Sarongge ini, menurut dia, benar-benar membantu. Kini warga Desa Ciputri berpenghasilan dari koperasi, peternakan kelinci, UKMart selain jasa ekowisata.

Peternakan domba dan radio komunitas yang mengajak masyarakat mencintai pohon dan hutan dikembangkan. Para ibu kini memulai usaha dengan membuat sabun sereh dan kopi, keripik kentang dan rengginang, jamur dan sayur organik.

Warga Desa Ciputri tidak saja dengan sukarela menyerahkan kembali lahan TNGGP yang mereka garap menjadi perkebunan sayur, tetapi juga merawat pohon-pohon endemik Gunung Gede–Pangrango yang ditanam melalui program adopsi pohon.

“Kalau ada yang mati ya kita tanam lagi ulang pohonnya, kita pastikan pohon itu tumbuh. Setiap pohon sudah dipetakan dengan GPS, jadi mereka yang mengeluarkan Rp100 ribu per pohon dapat memastikan pohon mereka masih ada,” ujar Tosca.

Pada Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim (Conference of Parties/COP) ke-21 yang akan digelar di Paris, akhir November 2015, menurut Tosca, Indonesia harus muncul dengan ide berbeda. Cerita dari Sarongge menarik untuk ditampilkan, bahwa peran masyarakat mengatasi perubahan iklim dapat menginspirasi masyarakat global.

Tidak mudah memang untuk melakukan perubahan. Meski masih ribuan hektare lahan di Taman Nasional Gunung Gede–Pangrango belum kembali hijau, namun cerita dari lahan 38 ha yang sudah menghijau oleh masyarakat desa pantas dimajukan di side event COP 21 di Le Bourget, Paris, Prancis.

Artikel ini ditulis oleh: