Pengamat AEPI, Asosiasi Pengamat Ekonomi Indonesia Salamudin Daeng, Wakil Ketua LKKNU, Luluk Nurhamida, Direktur Alvara, Hasanuddin Ali, Dosen FE UI, Berly Martawardaya menjadi narasumber pada acara diskusi di Gedung PBNU, Jakarta, Selasa (23/2/2016). Diskusi tersebut membahas tema "Tak Pa Pa Tolak TPP".

Jakarta, Aktual.com – Dalam beberapa waktu terakhir beragam spekulasi menyatakan bahwa pemerintahan Jokowi tidak punya uang, dan tidak akan mampu membiayai pemerintahannya sampai dengan akhir tahun ini.

Logika dibangun berdasarkan kondisi penerimaan negara yang stagnan, utang jatuh Tempo yang besar dan beban subsidi BBM, listrik, BPJS, yang besar. Konon beban APBN tersebut selalu ditutupi dengan utang baru. Namun ditengah situasi global yang buruk, pemerintah sudah mulai kesulitan mendapatkan utang.

Sinyal akan adanya resesi datang dari pemerintah sendiri. Menteri keuangan Sri Mulyani menyatakan bahwa resesi sudah datang. Menko perekonomian Darmin Nasution dan Wapres Jusuf Kalla mengingatkan siklus krisis 10 tahun yang terjadi dalam tahun tahun mendatang.

Dalam laporan McKinsey and Company, disebutkan bahwa korporasi di Australia, Cina, Hong Kong, India, dan termasuk Indonesia menanggung utang jangka panjang lebih dari 25 persen dengan interest coverage ratio (ICR) kurang dari 1,5. Khusus untuk Indonesia, utang jangka panjang dengan ICR kurang dari 1,5 mencapai 32 persen.

Selain itu, tingkat utang Indonesia yang menggunakan mata uang asing berada di angka 50 persen, jauh di atas rata-rata di negara-negara yang proporsinya hanya sebesar 25 persen. Tingginya utang dengan denominasi asing tersebut menyebabkan Indonesia rentan terhadap fluktuasi nilai tukar mata uang.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Abdul Hamid