Belum lama ini, jajaran penyidik Ditreskrimsus Polda Metro Jaya ternyata sudah memeriksa Menteri Agraria dan Tara Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Sofyan Djalil sebagai saksi atas kasus dugaan reklamasi Teluk Jakarta.

Menurut Sofyan, pemeriksaan tersebut berlangsung di kantornya Senin 5 Februari. “Iya tadi, (penyidik) Polda datang ke tempat kami,” ujar Sofyan seusai mengikuti rapat terbatas di Kantor Presiden, Jakarta Pusat, Senin (5/2) lalu.

Dia mengatakan, pemeriksaan dilakukan kurang lebih empat jam. Kepada wartawan, Sofyan mengaku dicecar sejumlah pertanyaan terkait penerbitan HPL dan HGB pulau reklamasi pantai Jakarta. “Intinya adalah mereka (polisi) ingin tahu saja. Apakah dalam pengeluaran HPL ada masalah dan pengeluaran HGB ada masalah. Kita sudah jelaskan,” terangnya.

Tak hanya memberikan keterangan, Sofyan juga memberikan sejumlah dokumen tentang reklamasi kepada penyidik. Dengan begitu, ia merasa yakin penyidik tidak akan memeriksanya lagi. “Kita sudah jelaskan semua. Lengkapi semua dokumen-dokumen yang diperlukan oleh Polda,” kata dia.

Sofyan menambahkan, sebetulnya sudah ada sejumlah menteri yang turut diperiksa penyidik dalam kasus pulau reklamasi. Namun dirinya enggan menyebut nama menteri yang dimaksud. “Yang ditanyakan itu bukan hanya saya, banyak menteri-menteri lain yang terkait,” tandasnya.

Sementara itu menurut Direktur Reskrimsus Polda Metro Jaya Kombes Adi Deriyan, pemeriksaan Sofyan Djalil dimaksudkan untuk mengetahui landasan pembangunan proyek reklamasi dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang yang dipimpinnya.

“Kami pengin tahu sebetulnya sejarahnya bagaimana, karena HGB (hak guna bangunan) keluar ada dasarnya, penentuan HGB yang urus pihak pemda,” ucap mantan penyidik KPK itu beberapa waktu yang lalu.

Pasalnya, polisi menduga adanya indikasi ‘main mata’ dalam penerbitaan HPL dan HGB pulau reklamasi. Sehingga keberadaan dan keabsahan kedua sertifikat yang ditandatangani oleh Sofyan Djalil tersebut patut dipertanyakan.

Polisi pun mengendus penerbitan HPL tersebut tidak memenuhi prinsip-prinsip sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negri Nomor 1 Tahun 1977 Jo Permen Agraria/Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tatacara Pemberian dan Pembatalan Hak atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan, khususnya Pasal 67-75.

Kejanggalan lainnya, Kementerian ATR/BPN ternyata juga telah menerbitkan HPL seluas 1.093.580 meter persegi atau 109 hektare untuk Pulau 1 dan pulau 2B berdasarkan SK Gubernur Provinsi DKI Jakarta tanggal 21 September 2012 Nomor 1417/2012 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau 1 dan Pulau 2B kepada PT Kapuk Naga Indah.

Polemik proyek reklamasi ini pun bukan hanya sebatas terbitnya HGB saja yang hanya merupakan kewenangan Kantor Pertanahan Jakarta Utara. Jika disimak lebih jauh, terbitnya HPL lah yang menjadi titik awal terjadinya kasus yang menghebohkan jagat perpolitikan di Tanah air belakangan ini.

Penerbitan HPL seluas 3.120.000 meter persegi (312 hektare) berdasarkan Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 82/HPL/KEM-ATR/BPN/2017 yang didasari antara lain surat persetujuan prinsip reklamasi sebagaimana surat gubernur DKI Jakarta tanggal 19 Juli 2007 Nomor 1571/-1.711.

Dengan demikian, HPL ini diterbitkan dan ditanda tangani Oleh Sofyan Djalil sebagai Menteri ATR/BPN yang diangkat bedasarkan Keppres 83/P/2016 pada tanggal 27 juli 2016. Lantas yang menjadi pertanyaan apakah penerbitan HPL sudah memenuhi Peraturan Menteri Dalam Negri 1/1977 junto Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN 9/1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan, khususnya pada pasal 67 sampai pasal 75.

Pasal itu mengharuskan adanya perda yang mengatur RUTR selanjutnya penerbitan SIPPT oleh gubernur DKI. Jika tiga unsur itu tidak terpenuhi maka bisa dipastikan SHPL yang diterbitkan Kementerian ATR/BPN yang ditandatangani Sofyan Djalil cacat hukum, dengan kata lain HPL tersebut tidak sah.

Surat izin prinsip reklamasi sendiri dikeluarkan pada 19 Juli 2007 pada saat ibu kota dipimpin Gubernur Fauzi Bowo. Sementara, surat permohonan hak pengelolaan diajukan 22 Desember 2015 oleh Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Provinsi DKI Heru Budi Hartono atas nama pemprov yang saat itu dipimpin Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.

Bila menilik aturan atas penerbita izin HPL dan HGB dua pulau hasil reklamasi yakni Pulau C dan D, tentu harus mengacu pada dua hal yakni revisi Perda Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta dan Raperda tentang Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (ZWP3K) dan kajian lingkungan hidup strategis (KLHS).

Bila keduanya dikesampingkan maka proses administrasi itu bisa dibilang tidak benar, karena kata KSTJ dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Nelson Nikodemus Simamora, penerbitan izin tersebut harus mempertimbangkan masalah sosial dan ekonomi bagi masyarakat dan kerusakan lingkungan di sekitar dua pulau itu.

Dalam hal ini, para nelayan di sekitar Teluk Jakarta tidak pernah dilibatkan dalam proses tersebut. Tapi apa daya, gayung bersambut atas terbitnya HPL, HGB yang juga baru diajukan tanggal 21 Agustus 2017 oleh pengembang, selang 3 hari sertifikat HGB pun ikut terbit.

HPL Diterima Djarot

Artikel ini ditulis oleh: