Terbitnya HPL dan HGB yang secara singkat itupun disinyalir ada campur tangan pengembang PT KNI. Dalam akun Marco Kusumawijaya, petikan sertifikat HGB itu ditulis, Hak Guna Bangunan bernomor 6226 itu disahkan tanggal 24 Agustus 2017 diteken oleh Kepala Kantor Pertanahan Jakarta Utara, Kasten Situmorang. Sementara, HPL ini terbit pada 19 Juni 2017. HGB bisa terbit setelah HPL ada.
KSTJ menduga Sertifikat bernomor 6226 itu dikeluarkan Kantor Pertanahan Jakarta Utara, dengan nomor 23-08-2017.-1687/HGB/BPN-09.05/2017 merupakan pesanan pengembang. “Terkait penerbitan HPL, sangat terasa sekali ini di-drive oleh pengembang,” kata Tigor Hutapea.
Apalagi, penerbitan HPL Pulau C dan Pulau D tidak akan terjadi dalam keadaan normal, karena ketika itu kedua pulau tersebut masih dalam status moratorium yang dikeluarkan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) melalui SK Surat Keputusan (SK) No 354/ MenLHK/Setjen/Kum.9/ 5/2016.
Dalam SK tersebut, Menteri LHK memerintahkan semua pengembang di pulau reklamasi untuk menghentikan segala kegiatan pembangunan mereka, pada 2016 lalu. “Bagaimana mungkin di tengah kebijakan moratorium yang masih sah dan digodok (untuk dicabut), muncul HPL untuk pulau-pulau ini dengan alasan investor sudah mengeluarkan dana besar untuk reklamasi,” jelasnya.
Tigor pun menyimpulkan jika pemerintah pusat ketika itu memang secara sengaja ingin melanjutkan pelaksanaan reklamasi di Teluk Jakarta. Pasalnya, pihak pemerintah justru melakukan pembiaran terhadap campur tangan pengembang reklamasi terhadap penerbitan HPL ini.
“Kami bisa menyimpulkan bahwa pemerintah memang memiliki niat untuk melanjutkan proyek reklamasi tanpa memperhatikan aturan-aturan yang berlaku, nelayan dan kondisi lingkungan, tetapi justru memberikan servis kepada investor untuk melakukan pembangunan properti di teluk Jakarta,” pungkasnya.
Sementara, Ketua Umum Forum Anti Korupsi dan Advokasi Pertanahan (Fakta), H Anhar Nasution menilai, ada tindakan persekongkolan dan permufakatan jahat untuk memperkaya diri dan orang lain dengan menyalahgunakan jabatan dalam pembuatan sertifikat tersebut.
Terbitnya sertifikat HGB diatas HPL pulau reklamasi menarik dikaji karena penerbitan HPL ini merupakan awal sengkarut masalah hukum di proyek ini. “Amat kecil kalau kita hanya melihat persoalan ini. Coba simak lebih jauh dan dalami terbitnya HPL tersebut yang menjadi titik awal dan biang kerok terjadinya kasus menghebohkan dunia perpolitikan di tanah air.”
Ia pun mempertanyakan terkait penerbitan HPL tersebut apakah memenuhi Peraturan Mentri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1977 Jo PERMEN Agraria/kbpn No: 9/1999 tentang tatacara Pemberian dan Pembatalan Hak atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan khususnya pada Pasal 67 s/d pasal 75 antara lain yang mengharuskan adanya PERDA yang mengatur RUTR selanjutnya penerbitan SIPPT oleh Gubernur DKI.
Jika tiga unsur ini tidak terpenuhi, dapat dipastikan HPL yang diterbitkan Kementrian ATR/BPN RI dan ditanda tangani Sofyan Djalil itu cacat hukum. Dengan kata lain HPL tersebut tidak sah.
“Dari uraian diatas patut dipertanyakan keberadaan dan keabsahan kedua Sertifikat Hak Pengelolaan Lahan (HPL) yang diterbitkan Kementrian ATR/BPN RI dan ditandatangani Sofyan Djalil,” demikian Anhar Nasution.
Sejak Awal Cacat
Artikel ini ditulis oleh: