Waktu pembukaan pendaftaran pasangan Capres dan Cawapres sudah di depan mata. Tapi, sejauh ini baru memunculkan dua kubu. Lalu bagaimana status poros ketiga bila Demokrat sudah melakukan pendekatan dengan Gerindra.

Direktur Riset Median Sudarto menganggap, jika Pilpres 2019 menghadirkan tiga pasangan calon (Paslon), justru dapat merugikan Capres petahana Jokowi. Pasalnya, suara pemilih dapat pecah dan pilpres akan berjalan dua putaran.

“Bisa juga menurut saya merugikan Jokowi kalau 3 paslon, yang jelas kalau 3 calon Pak Jokowi kerja 2 kali,” ujar Sudarto di Rumah Makan Bumbu Desa Cikini, Jakarta Pusat, Senin (23/7).

Skenario tiga paslon disebut akan menghilangkan banyak suara Jokowi. Sebab pemilih akan memiliki opsi lebih dalam memilih Paslon Capres dan Cawapres. Jika pemilih tidak kerasan memilih Jokowi dan Prabowo maka suara akan jatuh ke Paslon ketiga. Begitu pula saat pemilih tidak suka dengan Jokowi maupun Paslon ketiga, maka pilihan bisa jatuh ke Prabowo sebagai Paslon kedua.

“Ketika ada 3 paslon itu bisa banyak suara yang tidak kembali ke Jokowi. Misal, masyarakat nggak suka sama Jokowi dan Prabowo, suara akan ke Anies (sebagai Paslon ketiga),” kata Sudarto.

Sementara itu keuntungan akan mengarah ke Jokowi jika Pilpres hanya dua paslon. Bagi para pemilih yang tidak suka dengan Jokowi dan Prabowo, maka kemungkinan besar pemilih akan menjatuhkan pilihan kepada incumbent. “Kalau dua calon misalnya, nggak suka sama Jokowi dan Prabowo maka suara akan kembali ke Jokowi,” kata dia.

Sementara itu terkait elektabilitas, Jokowi dan Prabowi Subianto masih mendominasi. Namun kali ini, petahana yang notabene sebagai Capres petahana, tren elektabilitasnya sedikit menurun. Sedangkan calon pesaingnya Prabowo mengalami kenaikan. Sudarto mengatakan, penurunan elektabilitas Jokowi tidak begitu besar, hanya berkisar 0,5 persen dari survei bulan Juni sebesar 36,2 persen. Sedangkan Prabowo naik sekitar 2 persen.

“Elektabilitas Jokowi turun 0,5 persen dari survei bulan Juni sebesar 36,2 persen. Prabowo trennya naik dari survei lalu sekitar 20-an persen, sekarang 22,6 persen,” ungkap Sudarto menambahkan.

Menuru dia, elektabilitas Jokowi karena beberapa hal. Seperti sentimen masalah ekonomi yang belakangan meningkat dan berkembangnya politik identitas.”Pemerintah Jokowi punya dua problem besar. Pertama masyarakat tidak yakin Jokowi di akhir masa jabatannya bisa menyelesaikan permasalahan ekonomi. Kemudian ada politik identitas yang menguat jelang Pilpres,” kata Sudarto.

Sementara, meningkatnya elektabilitas Prabowo disebabkan karena sentimen negatif yang tengah mendera Jokowi. Selain itu, stigma negatif terhadap mantan Danjen Kopassus itu trennya menurun.

“Sentimen negatif ke Prabowo menurun, kalau bulan lalu sentimen ke Prabowo tinggi misalnya disebut arogan, statement-statementnya kontroversial, pidatonya terkesan marah-marah saat ini mulai menurun,” kata dia.

Sebagai informasi, dalam melakukan survei ini, Median melibatkan 1.200 responden yang tersebar di seluruh provinsi se-Indonesia. Pengambilan sampel dilakukan dengan sistem multistage random sampling, dengan margin of error 2,9 persen. Survei dilakukan pada rentang 6-15 Juli 2018.

Hasil survei Median periode 6-15 Juli 2018 terhadap 1.200 responden menyatakan, pemilih pemula cenderung memilih Prabowo ketimbang Jokowi.  Total elektabilitas Jokowi tercatat yakni sebesar 35,7 persen. Namun dari jumlah itu, survei ini menyatakan hanya 25 persen pemilihnya yang berusia di bawah 20 tahun. Sebaliknya dari 22,6 persen pemilih Prabowo, terdapat 31persen pemilihnya yang berusia di bawah 20 tahun.

“Alasan pemilih pemula lebih cenderung memilih Prabowo karena mereka merasa tidak puas dengan kebijakan ekonomi Jokowi,” kata Sudarto.

Menurut Sudarto, permasalahan ekonomi yang langsung dirasakan pemilih pemula di antaranya adalah sulitnya mencari pekerjaan. Padahal, para pemilih pemula tersebut berada dalam usia produktif. “Jadi mereka tak terpengaruh dengan kampanye milenial ala Pak Jokowi,” kata Sudarto.

Sebaliknya, kata Sudarto, Jokowi lebih digandrungi pemilih usia tua. Sebab, menurutnya, mereka cenderung berada dalam posisi sudah mapan secara pekerjaan dan ekonomi. “Di survei kami ada 45 persen pemilih Jokowi dari usia 60 tahun lebih,” kata Sudarto.

Dalam survei ini juga dinyatakan sebanyak 47,9 persen responden menginginkan ganti presiden di 2019. Jumlah ini lebih banyak ketimbang responden yang menyatakan tetap ingin mempertahankan Jokowi, sebesar 44,1 persen. Secara tren, kata dia, angka responden yang ingin mengganti Jokowi di 2019 pun meningkat. Survei Median pada April 2018 menyatakan 46,4 persen ingin ganti Jokowi atau lebih sedikit 1,5 persen ketimbang bulan Juli 2018.

Sementara, tren yang ingin mempertahankan Jokowi justru menurun. Pada April 2018 45,2 persen responden menyatakan ingin mempertahankan Jokowi, sementara pada Juli 2018 turun sebesar 1,1 persen. Survei ini mengambil margin galat sebesar lebih kurang 2,9 persen dengan tingkat kepercayaan sebesar 95 persen dan metode pengambilan sampel multistage random.

(Wisnu)

[pdfjs-viewer url=”http%3A%2F%2Fwww.aktual.com%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F07%2FFanzine-300718_Suara-Jokowi-Tergerus-Bersiaplah-2019-Ganti-Presiden.pdf” viewer_width=100% viewer_height=1360px fullscreen=true download=true print=true]